Latest News

Saturday, April 14, 2012

Hubungan E-Government dengan Demokrasi

Pengertian e-government dan hubungan dengan demokrasi dapat dicari pada karakteristik-karakteristik yang dimiliki demokrasi. Dalam demokrasi masalah-masalah seperti keluasan cakupan, transparansi, control terhadap agenda yang dilaksanakan para wakil rakyat semakin menjadi kebutuhan. Masalah-masalah ini semakin menemukan jalan keluar seiring perkembangan teknologi, khususnya di bidang informasi. Internet, sebagai inovasi teknologi informasi, membuat berkembangkan sebuah jenis mekanisme pemerintahan yang disebut E-Government (Electronic Government).

E-Government berkembang seiring kebutuhan masyarakat akan informasi. Sisi-sisi yang tadinya tidak atau jarang diketahui masyarakat sehubungan kinerja pemerintah, dengan E-Government mulai terkuak. Partisipasi warganegara untuk mengetahui dan mengontrol agenda public semakin terbuka melalui E-Government ini. Potret Indonesia

Dalam pengertian demokrasi secara substansial, hal-hal seperti keterbukaan dan pelibatan warganegara kemungkinan mulai dapat terselenggara lewat E-Government ini. Publik dapat mengetahui berapa jumlah partai yang ikut serta pemilu, siapa nama-nama caleg, perkembangan koalisi pemerintahan, kasus-kasus yang menimpa wakil rakyat, pesan-pesan warganegara terhadap anggota legislative, diyakini dapat terselenggara lewat mekanisme E-Government ini secara langsung.

Tulisan ini hendak mengupas hubungan antara E-Government dengan Demokrasi. Demokrasi erat berkait dengan kemampuan warganegara dalam mempengaruhi fungsi input sistem politik. Komunikasi politik, sosialisasi politik, artikulasi kepentingan, rekrutment politik, dan agregasi kepentingan, merupakan beberapa fungsi input sistem politik yang penting. Fungsi-fungsi input tersebut memiliki kemungkinan tersebar aksesnya secara lebih luas lewat E-Government ini. Ini guna mengatasi terbatasnya penyelenggaran fungsi-fungsi input konvensional. Agen-agen yang melangsungkan fungsi input (partai politik, LSM, pemerintah, pers) dapat memanfaatkan E-Government untuk tujuan-tujuannya sendiri.

Definisi E-Government

Apakakah E-Government itu? Terlalu banyak definisi yang diberikan oleh para pakar seputar konsep ini. Namun, tulisan ini akan membeberkan beberapa di antaranya yang sesungguhnya satu sama lain memiliki beberapa persamaan.

Shailendra C. Jain Palvia and Sushil S. Sharma mendefinisikan E-Government sebagai:
… a generic term for web-based services from agencies of local, state and federal governments. In e-government, the government uses information technology and particularly the Internet to support government operations, engage citizens, and provide government services. The interaction may be in the form of obtaining information, filings, or making payments and a host of other activities via the World Wide Web.1

Zhiyuan Fang, pada sisi lain, mendefinisikan E-Government sebagai:
… as a way for governments to use the most innovative information and communication technologies, particularly web-based Internet applications, to provide citizens and businesses with more convenient access to government information and services, to improve the quality of the services and to provide greater opportunities to participate in democratic institutions and processes.2

Eduardo Contreras Budge, juga mendefinisikan E-Government sebagai:
… is the systemic use of information and communication technologies (ICTs) to support the functions that a government performs for its constituents, typically the provision of information and services.3

Tiga definisi di atas mengaitkan konsep-konsep pemerintahan dengan penggunaan teknologi informasi, khususnya yang berbebasis world wide web (www), guna meningkatkan layanan pemerintah kepada public. Layanan ini dapat berupa penyediaan informasi dan merumuskan “what public wants.”

Layanan-layanan yang biasa diberikan lewat mekanisme E-Government cukup bervariasi. Palvia dan Sharma membaginya menjadi 4 lini, yaitu: Government to Citizen, Government to Business, Government to Government, dan Government to Constituens.4

Government to Citizen. Aktivitas ini menandai penyediaan pemerintah akan akses online atas informasi serta layanan kepada warganegara. Ini memungkinan warganegara mengajukan pertanyaan terhadap agen-agen pemerintah dan jawabannya; mengetahui pajak pendapatan (daerah, pusat, dan pemerintahan local); membayar pajak; memperbarui surat izin mengemudi; membayar tilang; ataupun mengubah alamat tempat tinggal (mengurus KTP).

Pemerintah dapat saja menyebarkan informasi mengenai diri mereka di internet; menyediakan layanan download formulir-formulir tertentu; menginformasikan lowongan pekerjaan; menyediakan informasi turis dan rekreasi; ataupun menyediakan konsultasi masalah kesehatan dan keamanan.

Government to Business. Pemerintah di sini melakukan ‘two ways interaction’ dan transaksi lewat internet baik antara government to business maupun business to government. Sistem tender terbuka melalui mekanisme E-Government bertajuk Government to Business ini. Sebagai contoh, pemerintah HongKong menyediakan informasi-informasi seperti Electronic Tendering System (ETS) dan HK Post e-Cert, yaitu penerbitan sertifikat digital kepada individu dan organisasi.

Government to Government. Mengetengahkan aktivitas antar departemen atau organisasi pemerintahan. Aktivitas ini dimaksudkan demi mencapai efektivitas dan efisiensi kerja seluruh operasi pemerintahan. Di Amerika Serikat, sebagai missal, terdapat Intelink, yaitu teknologi intranet yang menyediakan informasi-informasi yang telah terklasifikasi dan disebarkan kepada seluruh agen intelijen.

Government to Constituent. Dikenal pula sebagai E-Democracy. Ia mengacu pada aktivitas online pemerintah, wakil rakyat, partai politik, dan warganegara dalam masalah proses-proses demokrasi. Ini termasuk diskusi dan konsultasi online antara wakil rakyat dengan konstituennya. Di situ www.dpr.go.id (milik DPR-RI) telah disediakan perangkat chatting dan nomor kontak wakil rakyat. Tujuannya, konstituen dapat mendiskusikan dan mencari solusi atas masalah-masalah kebijakan yang ditemui. Atau, menagih janji kampanye, tentunya. Di Korea Selatan, para politisi menggunakan internet guna menjaring pemilih.

Aspek lain dari Government to Constituen adalah electronic voting. Selama ini memang masih berlangsung voting manual dengan kertas suara yang menghabiskan cost besar. Memang mekanisme voting pemilu tidaklah sederhana. Ia mengkaitkan proses registrasi dan otentifikasi, untuk kemudian dilanjutkan proses perhitungan suara. Namun, di India E-Voting sudah pernah digunakan dalam Pemilu 2004. Dalam pemilihan anggota parlemen tersebut, India menggunakan 600.000 mesin voting elektronik.

Mesin yang digunakan India diproduksi oleh Electronics Corporation of India dan Bharat Electronics. Mesin-mesin ini dioperasikan dengan batere dan sifatnya portable (mudah dipindahkan), mudah dioperasikan, reliable, dan bebas error. Pengoperasian mesin melibatkan pengawasan oleh pejabat resmi di TPS-TPS. Pemilih yang buta aksara terbantu akibat adanya tanda pemilih berupa logo dan gambar dari para kandidat dari partai politik yang ikut pemilu.

Keempat hal di atas merupakan lokus dari kegiatan E-Government yang satu sama lain memiliki wilayah kerja sendiri-sendiri. Kajian E-Government dan Demokrasi kiranya patut diletakkan dalam lokus yang keempat, yaitu Government to Constituent.

Pertanyaan kemudian adalah, seberapa signifikan peran dari E-Government dalam tata kehidupan demokrasi? Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) menandai 6 signifikansi dari E-Government yaitu: (1) E-Government meningkatkan Efisiensi; (2) E-Government meningkatkan Pelayanan; (3) E-Government membantu pencapaian hasil kebijakan; (4) E-Government berkontribusi atas sasaran kebijakan ekonomi; (5) E-Government berkontribusi atas Reformasi; (6) E-Government mendorong Trust antara Pemerintah dan Warganegara.5

Selain itu, Eduardo Contreras Budge menandaskan E-Government mampu berkontribus pada hal-hal seperti peningkatan efisiensi operasi pemerintah, peningkatan transparansi, dan memodernisasi sector public.6 Efisiensi operasi pemerintah diperoleh berkat otomatisasi/digitasi fungsi-fungsi administrasi, yang dengan lain kata menyederhanakan proses dan penyampaian layanan.

Peningkatan transparansi, juga akuntabilitas, diperoleh memungkinkan sector public memperluas peran mereka berdasar tesis penyedia layanan yang client-oriented. Juga, E-Government memungkinkan operasi pemerintah berikut hasilnya terbuka bagi public. Selain itu, E-Government juga memungkinkan terjadinya modernisasi atas sector public. Satu tesis dasar modernisasi adalah pencapaian efisiensi kerja dengan biaya yang kecil. Lewat E-Government, pemerintah mampu menghemat dana penyebaran informasi konvensional dengan penyebarannya lewat internet, terlebih ke daerah-daerah yang mahal sarana transportasinya.

E-Government dan Demokrasi

Lalu, apa hubungan antara E-Government dan Demokrasi? Kaitan antara E-Government dan Demokrasi terletak pada tujuan dari demokrasi dan bagaimana kemungkinan pencapaian atas itu terselanggara lewat mekanisme E-Government. Kesulitan dari Demokrasi Perwakilan (representative democracy) ini adalah desentralisasi peran politik warganegara kepada wakil rakyat (legislatur). Akibat sejumlah factor, penyampaian kepentingan dari warganegara tidak terselenggara secara maksimal. Untuk itu diperlukan terobosan baru bagaimana warganegara dapat menentukan kinerja fungsi input pemerintahan. E-Government membuka kesempatan tersebut.

Steven N. Clift menunjukkan sejumlah tujuan yang inheren di dalam demokrasi dan kaitannya dengan E-Government.7 Ketujuh tujuan tersebut adalah : (1) Kepercayaan dan Akuntabilitas; (2) Legitimasi dan Pemahaman; (3) Layanan dan Kepuasan WargaNegara; (4) Jangkauan Akses; (5) Perwakilan Efektif dan Pembuatan Keputusan; (6) Partisipas lewat Fungsi Input dan Konsultasi; dan (7) Keterlibatan dan Kesengajaan.

Kepercayaan dan Akuntabilitas. Jika diajukan pertanyaan kepada warganegara seputar apa yang mereka inginkan dari pemerintah, maka akan diperoleh jawaban mayoritas seputar keinginan terbentukan pemerintah yang didasarkan trust dan akuntabilitas. Perhatikan hasil surver Clift terhadap masyarakat Amerika Serikat di bawah ini :


Lalu, bandingkan survey yang diadakan peneliti yang sama di Jepang :


Tatkala pemerintah memampang hasil kerja mereka di media yang dapat diakses public, dan secara mudah public dapat mempelajarinya, trust dan akuntabilitas pemerintah muncul secara alami. Trust dan Akuntabilitas ini dapat diperoleh pemerintah lewat jenis layanan yang bervariasi dan menguntungkan warganegara.

Legitimasi dan Pemahaman. E-Government menyediakan kesempatan bagi pemerintah guna menjelaskan dan mendemonstrasikan legitimasi mereka. Mereka juga dapat menyediakan pendidikan sipil mendasar secara online, yang pada satu titik, akan meningkatkan pemahaman warganegara akan tanggung jawab pemerintah.

Satu hal yang sangat menarik bagi public adalah penggunaan uang Negara. Di India misalnya, tersedia situs www.indiabudget.nic.id . Situs tersebut menjelaskan asal-usul uang Negara (misalnya dari pajak dan pendapatan lain), lalu ke mana uang-uang tersebut mengalir.

Layanan dan Kepuasan WargaNegara. Peningkatan kepuasan warganegara akan layanan pemerintah tercipta lewat demokrasi partisipatoris. Di level minimal, pemerintah perlu mendesain layanan dan transaksi online dalam hal input politik. What does people wants, kiranya demikian slogannya. Tidak hanya itu, pemerintah juga dapat merangkum tanggapan (feedback) dari warganegara atas kinerja mereka selama ini.

Jangkauan Akses. Pemerintah mengupayakan sebesar-besarnya upaya penyebarluasan aktivitas mereka ke kalangan warganegara. Ini misalnya melalui teknik E-Mail Newsletter. Dalam teknologi ini, pemerintah mengirim informasi kerja mereka ke alamat-alamat email warganegara secara otomatis. Informasi tersebut telah diklasifikasi sehingga mirip “Koran.”

Di Jepang, sebagai contoh, Perdana Menteri Koizumi menerbitkan M-Magazine yang sudah mencapai 2 juta pelanggan. Isi dari M-Magazine adalah perkabaran lewat email yang berisikan aktivitas si perdana menteri berikut anggota-anggota kabinetnya. Demikian pula, presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad memiliki portal sendiri yang berisikan percakapannya dengan warganegara Iran dan penduduk dunia. Portal tersebut juga memampangkan surat-surat dari para pembaca website seputar keluhan dan keingan mereka dari pemerintah Ahmadinejad.

Perwakilan Efektif dan Pembuatan Keputusan. Kini studi-studi seputar E-Government telah dilakukan oleh parlemen, legislatur, dewan kota, dan para pejabat public dipilih berikut staffnya. Ini merupakan indikasi upaya penguatan partisipasi warganegara. Legislatur, sebelum melakukan rapat rancangan undang-undang, dapat saja menerbitkan polling di situsnya seputar langkah yang sebaiknya dilakukan. Pilihan public dapat terlihat lewat respon atas polling-nya tersebut.

-------------------------------------------
Referensi 
  • Eduardo Contreras Budge, Foundations of E-Government, (Paraguay: Digital Opportunities for Development, tt)
  • OECD, E-Government for Better Government, (Paris: OECD E-Government Studies, 2005)
  • Shailendra C. Jain Palvia and Sushil S. Sharma, E-Government and E-Governance: Definition/Domain Framework and Status around the World, (India: Computer Society of India)
  • Steven N. Clift, Representation and Citizen Engagement in the Information Age, (United Nation: UNPAN/DESA, 2004)
  • Zhiyuan Fang, E-Government in Digital Era: Concept, Practice, and Development, (International Journal of the Computer, The Internet, and Management, Vol. 10, No.2, 2002) 
tags:
pengertian e-government definisi e-government hubungan e-government demokrasi hubungan birokrasi dan demokrasi

Hubungan E-Government dengan Administrasi Publik

Hubungan e-government dan administrasi publik adalah suatu fenomena. E-government dalam kajian administrasi publik, menempati posisi kunci. Utamanya selaku subproses dari demokrasi berupa aliran informasi yang dapat diakses secara luas oleh warga Negara. E-Government memungkinkan warganegara mengetahui apa yang terjadi di dalam “Negara” atau “pemerintahan” yang selama ini seperti berada di balik layar. Sebab itu, dalam hubungannya dengan demokrasi, E-Government merupakan sebuah konsep maju yang sudah diimplementasi di banyak Negara.

Kini pembahasan masih bertemakan E-Government, tetapi dengan lokus kajian yang berpindah. Jika sebelumnya lokus adalah pada mekanisme demokrasi, maka kini lokus berada pada Administrasi Publik. E-Government selama ini telah dimanfaatkan birokrasi Negara dalam melakukan pelayanan kepada public. Kini, factor penting yang hendak dikaji adalah di mana signifikansi peran dari E-Government dalam implementasi birokrasi Negara, atau secara lebih luas, administrasi public. Potret Indonesia

E-Government selaku Fenomena Administrasi Publik 1

E-Government kini sudah merupakan fenomena global. Banyak Negara mewujudkan visi, impian, dan rencana-rencana mereka dalam bidang pemerintahan elektronik ini. Menurut survey yang dilakukan Gartner Group, transisi dari “government” menjadi “e-government” dikarakteristikan oleh 4 tahap.

Tahap pertama adalah kehadiran pemerintah di dunia internet. Setelah tahap kehadiran selesai, pemerintah dimungkinkan berinteraksi dengan warganegaranya lewat internet. Tahap interaksi ini kemudian digantikan tahap transaksi. Di tahap transaksi ini, komunikasi antara pemerintah dengan warganegara berhubungan dengan distribusi layanan public. Akhirnya, akibat distribusi layanan public ini, pemerintah akan mentrasformasikan organisasi dan lembaganya. Tahap pertama hingga ketiga berfokus pada upaya penemuan bentuk pemerintahan dan membangung basis bagi e-government. Sementara tahap keempat terfokus pada pendesainan suatu bentuk baru pemerintahan.

Di dunia internasional, terdapat sejumlah Negara yang menjadi “innovative leader” bagi proyek e-government ini. Negara-negara tersebut adalah Kanada, Singapura, dan Amerika Serikat. Kemudian Australia, Belanda, Jerman, HongKong dan Perancis muncul selaku “visionary challenger” (penantang masa depan). Selandia Baru, Spanyol, Belgia dan Jepang tampil selaku “emerging performers” (debutan baru). Disusul kemudian dengan Negara yang tengah membangun platform e-government (“platform builders”) yaitu Brasil, Italia, dan Afrika Selatan.

Negara-negara “innovative leaders” sukses membangun e-government mereka sejak tahun 2001. Di Negara-negara tersebut cenderung terdapat suatu semangat memperlakukan warganegara dan kalangan bisnis selaku pelanggan (customer) dan mengenalkan teknik manajemen hubungan pelanggan kepada distribusi layanan public.

Secara regional, kawasan Amerika Utara, Eropa, Amerika Selatan, dan Timur Tengah merupakan penerap e-government yang cukup berhasil. Sementara kawasan-kawasan seperti Asia, Karibia, Amerika Tengah, dan Afrika merupakan yang terendah. Ini berdasarkan survey atas kehadiran online pemerintah mereka, evaluasi infrastruktur teknologi informasi mereka, dan penilaian kapasitas pembangunan manusia mereka. Kendati demikian, kini hampir setiap Negara telah coba menerapkan e-government dalam pelayanan public mereka kendati dengan kadar yang berbeda-beda.

Pembentukan E-Government

E-Government tidaklah hadir begitu saja dalam tata kelola administrasi public. Terdapat sejumlah kondisi yang menjadi prasyarat hadirnya e-government ini. Pertama, provisi akses atas hukum dan regulasi. Bank-bank data yang berisi teks-teks resmi (undang-undang, peraturan, surat edaran) dibuat mungkin untuk dapat diakses di internet, baik oleh warganegara maupun kalangan bisnis. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, institusi Library of Congress menyedikan informasi legislative secara online di situs www.thomas.loc.gov.

Kedua, melakukan streamline data basis. Beberapa pemerintahan melakukan koneksi dengan data personal warganegara dan menggunakan informasi tersebut bagi layanan dasarnya. Kini tengah dibangun registrasi-registrasi yang unik guna member peringatan ataupun menajmi kualitas dari informasi yang dihadirkan (misalnya apakah informasi benar atau uptodate?). Registrasi ini juga berisikan data personal dari warganegara. Dengan mengkoneksi mereka, data yang sama akan digunakan bagi sistem informasi yang tersedia.

Ketiga, mengamankan transaksi-transaksi penting. Dalam rangkan meningkatkan keamanan penggunaan teknologi informasi, pemerintah me-launching program-program seperti tanda tangan elektronik, kartu identitas elektronik. Dan infrastruktur kunci yang bersifat public. Misalnya, Singapura sejak 1998 telah memberlakukan ETA (Electronic Transaction Act) yang fungsinya menyediakan pengakuatan legal atas tanda tangan elektronik lewat penggunaan sertifikat digital. Di masa kini, beberapa pemerintahan (misalnya Belanda) jadi pilot project bagi penggunaan karakter biometric sebagai dokumen perjalanan atau kartu identitas dalam rangka keamanan data. Juga, eksperimen penggunaan scan lapisan iris mata serta pengenalan wajah diterapkan di Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa Barat.

Keempat, penciptaan kesadaran ICT dan pembangunan skill ICT. Agar warganegara mampu memanfaatkan e-government, mereka harus tahu keuntungan dari itu. Juga mereka harus mampu menggunakannya. Satu contoh dari inisiatif yang ditujukan demi penciptaan kesadaraan ini adalah pembangunan “taman bermain” digital di Belanda.

Kelima, pendirian organisasi-organisasi pendukung e-government demi pengimplementasian dan pengkoordinasian inisiatif e-government ini. Organisasi tersebut, sebagai missal, harus mengkoordinar beragam aspek dari e-government, merangsang peran ICT dari sudut administrasi public, dan mengadakan perubahan budaya di dalam pemerintahan. Contoh menarik dari ini adalah sebuah organisasi bernama E-Government Coordination Office di HongKong.

Operasi Administrasi Publik dalam E-Government

Di tingkat nasional, e-government diberlakukan di sejumlah area kebijakan public. Di area layanan manusia, e-government terutama terfokus pada pekerjaan. Ini dilakukan lewat pembangunan website di internet yang memungkinkan warganegara mencari pekerjaan, membuat CV, secara otomatis. Baik Amerika Serikat dan Australia bahkan telah mengembangkan layanan pencarian kerja online (www.jobsearch.gov.au bagi Australia dan www.ajb.org bagi Amerika Serikat). Lebih jauh lagi, layanan online Kanada bahkan telah memungkinkan warganegara mendaftar secara online sebagai penganggur dalam rangka mengurus asuransi penganggurannya.

Sektor keuangan mungkin merupakan yang paling pesat perkembangan e-governmentnya. Sebagai contoh, orang-orang di Irlandia memanfaatkan layanan online keuangan ini (www.ros.ie) yang memberi fasilitas pengisian wajib pajak. Situs itu dilengkapi sertifikat digital yang memungkinkan mereka menandatangani berkas wajib pajak mereka.

Masalah pajak ini pun telah disentuh Spanish Tax Agency (www.aeat.es) dan telah dikembangkan sejak 1999. Proyek tersebut mengcover keseluruhan proses pajak (informasi, printing berkas pajak, dan pembayaran, juga sertifikat) untuk segala jenis pajak yang dibayarkan warganegara.

Di bidang pendidikan, EdNA (Education Network Australia di www.edna.edu.au) member layanan informasi pendidikan. Pertama, ia menawarkan direktori yang berisikan seluruh program pelatihan dan pendidikan di Australia, didukung database yang memungkinkan sistem belajar online. Kedua, ia layanan komunikasi yang bertujuan mempromosikan kolaborasi dan kerjasama di seluruh sector pendidikan dan pelatihan Australia. Juga, termasuk bantuan keuangan yang bisa diakses di www.cao.ie.

E-government juga merambah bida kehakiman dan keamanan public. Misalnya, di Australia lewat situs www.fedcourt.gov.au diperkenalkan cara mendaftar pengadilan. Di Belgia telah dikembangkan situs pembayaran tilang di www.just.fgov.be. Sementara di Singapura juga dibangun situs yang mampu melakukan claim secara online di www.smallclaims.goc.sg.

Lokus E-Government

Sedikit demi sedikit, pemerintah di dunia mengadopsi e-government dalam tata kelola administrasi public mereka. Ini akibat beberapa keuntungan yang ditawarkan sistem ini. Pertama, e-government bertujuan lebih pada customer-oriented. Ketimbang pergi ke kantor pajak atau kantor walikota, warganegara dapat mendownload brosur-brosur yang mereka butuhkan secara segera, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, langsung dari internet.

Kedua, dengan e-government administrasi public jadi lebih efisien. Tenaga manusia dan kertas dapat dihemat tatkala administrasi public dikoneksikan dengan internet. Prosedur dan rutinitas jadi terotomatisasi dalam rangka menghemat pengeluaran guna membayar aparat pelayan public yang mahal.

Ketiga, e-government membuat administrasi public jadi modern. Ini merupakan daya tarik utama dari e-government. Administrasi public Negara mana yang tidak mau dikatakan modern? Terlebih lagi, telah terjadi peralihan masyarakat dunia dari masyarakat produksi menjadi masyarakat informasi. Pemerintah harus mengadaptasi perubahan ini, dan jadilah e-government selaku trend yang meluas di seluruh penjuru dunia.

Lokus organisasi. Organisasi public terdiri atas entitas yang beragam. Guna melihat di mana posisi e-government dalam organisasi public, jadi penting bagi kita mengingat konsep Mintzberg tentang peta organisasi. Ia melakukan pembedaan atas 5 elemen organisasi : inti operasi, strategic top, eksekutif, tekno-struktur, dan staff pendukung. E-government menekankan perhatian pada dukungan pelaksanaan layanan. E-government sebab itu concern dengan inti operasi. Juga, pada tekno-struktur organisasi. Tekno-struktur ini harus menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi e-government.

Lokus Kebijakan. Kebijakan adalah konsep kunci dalam ilmu administrasi. Dalam pendekatan sistem atas administrasi public, proses kebijakan secara analitis terdiri atas fase-fase berikut: pengenalan masalah dan agenda-setting, pembangunan kebijakan dan pengambilan keputusan, dan implementasi serta kendali manajerial. Dalam konteks kebijakan ini, e-government concern dengan titik implementasi kebijakan. Isu prinsipilnya adalah mengembangkan layanan yang citizen-focused seraya melibatkan otoritas pemerintahan bergerak online untuk kemudian terlibat dalam transaksi-transaksi digital.

Lokus Politik. Politik langsung berkait dengan masalah administrasi public. Inilah alasan utama mengapa e-government tidak dapat begitu saja disamakan dengan e-business. Warganegara bukan saja stakeholder yang mau beroleh profit, tetapi juga konstituen dari Negara yang terorganisasi secara demokratis. Untuk itu, politik merupakan bagian atau paket yang ada di dalam administrasi public dan e-government.

Dalam Negara-negara demokrasi liberal, politik hadir dalam 4 aktivitas. Pertama representasi, yang membuat legislative sah dalam memproduk undang-undang yang mengikat. Kedua, politisi dipilih untuk kemudian mereka menentukan masalah-masalah sosial yang dapat menjadi dasar pembuatan kebijakan. Pengambilan keputusan dan hak suara di parlemen merupakan aktivitas politik yang ketiga. Menurut pada prinsip check and balance, supervise demokratis merupakan tipe keempat aktivitas politik.

Inisiatif e-government terutama berkait dengan dukungan atas penyelenggaraan supervise demokratis. Sebagai contoh, akses public online atas undang-undang dan peraturan. Akses pada informasi pemerintah ini bertujuan meningkatkan transparansi administrasi public terhadap warganegara dan kelompok kepentingan.

Lokus Warganegara. Di Negara demokrasi liberal, warganegara dan administrasi public terkoneksi dengan sejumlah cara. Definisi republic sendiri adalah warganegara sekaligus memerintah dan diperintah. Warganegara memerintah sekurangnya lewat 2 cara. Pertama, demokrasi perwakilan memungkinkan warganegara selaku pemberi suara memilih wakil rakyatnya. Kedua, warganegara terhubung denga praktek keseharian dari pembuatan kebijakan dan pembuatan keputusan.

Terkadang pemerintah berkonsultasi dengan warganegara guna mendengar apa yang mereka piker seputar proposal kebijakan tertentu, tetapi secara umum warganegara membangun blok masyarakat sipil sendiri. Selaku rakyat yang diperintah, warganegara merupakan sasaran dari administrasi public. Warganegara lambat-laun dimengerti sebagai konsumen dari produk dan layanan yang diberikan pemerintah.

Fokus E-Government

Oleh sebab e-government punya lokus yang sempit dalam konteks administrasi public, maka terminology e-services (atau i-services) lebih layak disandangnya ketimbang e-government. E-government hanya muncul guna meningkatkan layanan pemerintah.

E-government mengambil aktivitas spesifik dari agen pemerintahan selaku starting pointnya (misalnya jaringan pengaman sosial, keterbukaan pemerintahan, mencari kerja) dan kemudian mengubahnya ke dalam e-government dengan menaruh proses-proses tersebut ke dalam computer dan menghubungkannya dengan internet. Apa yang biasanya dilakukan secara manual, kini dilakukan oleh computer. Lewat teknologi, layanan pemerintah jadi lebih efisien, lebih modern, dan lebih reliable.

Ideologi di balik E-Government

McLuhan, teoretisi media, berargumentasi bahwa teknologi-teknologi baru tidak pernah bersifat netral terhadap konteks sosial dan kulturalnya. McLuhan mendemonstrasikan bahwa kita seharusnya tidak hanya melihat pada isi pesan, tetapi juga isi dari mediumnya. Ahli lain berargumentasi ideology tertentu tersembunyi di balik setiap teknologi. Bahkan suatu intrumen teknis yang terlihat netral sesungguhnya punya bias ideology, yang berakibat pada bagaimana cara seseorang melihat dunia.

Apa ideologi di balik e-government? Dalam sudut pandang ideology e-government, pemerintah melulu hanyalah masalah koleksi informasi, proses informasi, dan perluasan informasi. Bagi e-government, informasi merupakan inti dari administrasi public. Tatkala kita yakin pada ideology e-government ini, pemerintah secara esensial menjadi materi informasi.

Brown and Duguid mendefinisikan dominasi ideology informasi selaku “infoprefixation.” Ini mengubah pandangan dari kayanya institusi menjadi sekadar masalah informasi. Ideologi informasi tidak hanya suatu perspektif atau cara pandang. Tatkala ia diterapkan, ia cenderung menjadi “bulldozer sosial” yang akan mengubah praktek-praktek manusia menjadi praktek informasi. Singkatnya, ideology e-government mengubah praktek-praktek manusia menjadi praktek-praktek informasi yang dilakukan computer melalui internet.

Efek ideology e-government ini juga dapat ditelusuri lewat beberapa pendekatan atas administrasi public. Pertama pendekatan rasionalitas politik. Pemerintah demokratis merupakan hasil dari konflik antara para pendukung dan penentang. Pertikaian yang terjadi tatkala suatu kebijakan dirumuskan merupakan esensi dari politik. Pertikaian ini terbangun lewat debat, voting, dan terutama penggunaan kekuasaan (kadang paksaan, koersi). Konflik, kuasa, kekuatan, dan pembuatan keputusan politik selaku terhubung dengan administrasi public demokratis.

Kedua, rasionalitas legal. Tiap aksi pemerintah harus lega, baik dalam bentuk maupun substansinya. Biasanya, pemerintah memuarakan aktivitasnya dalam format legal. Keamanan legal, persamaan legal, dan kewajiban legal, terpaket ke dalam keputusan pemerintah, dan itu merupakan persyaratan struktur dan tindakan pemerintah.

Ketiga, rasionalitas ekonomi menggarisbawahi administrasi public. Efisiensi merupakan kata kunci dari rasionalitas ini. Bahkan tatkala ekonomi berkembang, pemerintah tetap menghadapi kelangkaan ekonomi. Alat-alat pemerintah tidak pernah bisa memenuhi tuntutan masyarakat. Rasionalitas ekonomi juga butuh organisasi administrasi public yang rasional.

Keempat, rasionalitas professional. Pemerintahan yang efektif butuh sebuah teori kebijakan yang valid. Rasionalitas professional butuh pengetahuan keilmuwan sehubungan dampak yang bisa ditimbulkan atas suatu intervensi pemerintah.

Keempat rasionalitas di atas dapat digunakan guna menganalisi inisiatif e-government. Utamanya, e-government berhubungan dengan rasionalitas ekonomi dari administrasi public. Tujuannya menciptakan organisasi yang rasional dari administrasi public. Ia mengupayakan rasionalitas ekonomi dari kebijakan public serta efektivitas dan efisiensi dari agen-agen pemerintah. Sementara itu, rasionalitas politik diabaikan oleh e-government. Tidak ada dinamika tawar-menawar politik dalam e-government.

Antonio Cordella, bahkan menyebut gerakan lain yang ada di balik e-government yaitu New Public Management.2 Ia menyatakan bahwa proyek-proyek e-government secara intrinsic (pada dirinya sendiri) dilekatkan pada kombinasi reformasi politik dan perubahan organisasi guna membangun, mendukung, dan mendorong transformasi organisasi di sector public.

Seperti telah disampaikan pada kuliah yang lalu, NPM merupakan gerakan pencangkokkan manajemen perusahaan privat ke dalam birokrasi public (administarasi Negara). Rasionalitas ekonomi dalam e-government berhubungan dengan semangat NPM yang kerap mengatasnamakan efektivitas dan efisiensi pelayanan pemerintah.

Dampak E-Government

Akibat bias ideologinya, maka jika e-government diterapkan akan memunculkan sejumlah transformasi. Pertama, e-government mensolidkan hubungan politik dan hubungan kekuasaan dengan menstabilitasi definisi data dan arsitektur informasi dari administrasi public.

Kedua, e-government merasionalisasikan kebijakan public dari titi panda rasionalitas professional. Hampir semua riset atas dampak teknologi informasi dan komunikasi membawa pada suatu konklusi bahwa baik proses kebijakan maupun kebijakan itu sendiri jadi lebih rasional. Efektivitas dan efisiensi jadi nilai primer guna menegaskan proposal kebijakan dan proses kebijakan. Kemungkinan munculnya konflik politik tersalur dan kadang direduksi akibat proses rasional ini.

Ketiga, e-government mentransformasikan proses-proses legal menjadi sekadar proses teknis-administratif. Keempat, e-government mentransformasikan “citizenship” menjadi “consumership”.

-------------------------------------------
Referensi

  • Stavros Zouridis and Marcel Thaens, E-Government: Towards a Public Administration Approach, (Asian Journal of Public Administration Vol. 25, No.2, December 2003) p. 159-183.
  • Antonio Cordella, E-Government: Towards the E-Bureaucratic Form?, (Journal of Information Technology, 22, 2007) 
tags
pengertian e-government definisi e-government demokrasi publik hubungan e-government birokrasi manajemen publik lokus e-government pemerintah

Hubungan Birokrasi dengan Demokrasi

Hubungan birokrasi dan demokrasi sesungguhnya rapat. Istilah birokrasi dan demokrasi kerap dipertentangkan satu sama lain. Pertentangan ini berlaku baik pada tataran akademis maupun awam. Di satu sisi, birokrasi publik menempati posisi penting dalam administrasi publik yang efektif. Namun, birokrasi dianggap bersifat legalistik dan mengabaikan tuntutan serta keinginan warga negara secara individual. Birokrasi cenderung diasosiasikan dengan sesuatu yang bersifat hirarkis bahkan bentuk pemerintahan yang otoritarian. Ini tetap terjadi meski birokrasi tercipta justru untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat, dan seringkali secara demokratis.


Di sisi lain, lembaga pemerintahan yang demokratis diasumsikan amat responsif pada keinginan publik. Pemerintahan demokratis berupaya memetakan pilihan publik ke dalam kebijakan positif bagi warga negaranya. Richard Rose dan lainnya telah mengkaji hubungan antara voting dan pilihan kebijakan dalam negara demokrasi perwakilan yang ternyata tidak begitu jelas seperti yang digembar-gemborkan. Bahkan, publik dapat saja memilih tujuan-tujuan yang inkonsisten. Atau, publik punya harapan yang kurang realistik yang memaksa pemimpin (baik di kalangan legislatif ataupun birokrasi) membuat keputusan hanya untuk diri mereka seorang. Potret Indonesia 

Hubungan antara birokrasi dan demokrasi sekaligus paradoksal juga saling melengkapi. Paradoksal akibat kenyataan bahwa negara demokrasi yang efektif justru memerlukan birokrasi yang berfungsi baik. Stereotip kaku yang ditempelkan secara negatif pada birokrasi justru diperlukan agar negara demokratis berfungsi baik.

Konsep birokrasi dan demokrasi mungkin terkesan bertentangan. Namun, sesunggunya keduanya diperlukan demi terciptanya pemerintahan yang efektif dan responsif. Keduanya menyediakan manfaat bagi masyarakat. Responsifnya pemerintahan demokratis harus diimbangi dengan dengan kepastian dan kenetralan yang ada di lembaga birokrasi. Begitu juga, proses-proses demokratis diperlukan demi mengabsahkan proses pemerintahan dan menghasilkan perundang-undangan yang benar-benar diinginkan warganegara. Sifat komplementer birokrasi dan demokrasi ini esensial bagi good governance.

Senja Demokrasi Perwakilan

Pengertian demokrasi yang umum adalah, pemilih akan mengendalikan kebijakan lewat pilihan mereka atas kandidat legislatif/eksekutif. Mereka yang terpilih akan membuat kebijakan sesuai harapan para pemilihnya. Birokrasi kemudian akan diarahkan oleh legislatif/eksekutif tersebut dalam pengimplementasian kebijakan yang sudah dibuat tadi. Jadi, elemen penting dari model demokrasi konvensional adalah, politisi yang terpilih bertanggung jawab dalam memilih suatu kebijakan dan administrator ( di birokrasi) bertanggung jawab dalam mengimplementasikannya.

Dalam pandangan di atas, aktor sentral drama demokrasi ini adalah warganegara yang diasumsikan tertarik dalam masalah politik. Atau paling tidak, rajin memberikan suara dalam pemilu. “Pahlawan” dari drama ini adalah warganegara yang tidak saja memberikan suara tetapi juga rajin mengikuti berita dan informasi lain seputar politik guna menelusuri tindakan politisi yang mereka pilih itu.

Masalah yang kini muncul adalah, semakin sedikit warganegara yang secara aktif terlibat dalam kehidupan politik. Misalnya, tingkat parsipasi masyarakat dalam memberi suara di TPS-TPS cenderung mengalami penurunan. Ini dapat terjadi akibat aneka sebab seperti : tidak percaya, bingung, bosan, atau memang disengaja (misalnya golput).

Penurunan partisipasi warganegara dalam kehidupan politik paling jelas terlihat dalam partisipasi pemberian suara. Secara kasar, dapat saja ditarik kesimpulan juga terjadi penurunan dalam bentuk-bentuk partisipasi lain semisal ikut partai, berdiskusi politik, demonstrasi, dan sejenisnya. Dalam banyak jajak pendapat, warganegara menunjukkan ketidaktertarikan ikut partai politik. Juga, kerap ditunjukkan anggapan bahwa partai politik tidak lagi dianggap relevan bagi suatu pemerintahan yang efektif.

Lebih jauh lagi, banyak partai politik yang kehilangan massa solid mereka. Partai-partai tersebut berubah menjadi partai “catch-all” atau berprogram sempit. Misalnya, di Belanda ada sebuah partai bernama Pym Fonteyn. Pym Fonteyn adalah nama seorang tokoh Belanda. Atau, di Denmark ada partai bernama Naser Khader of Ny Alliance yang sama bentuknya. Atau, di Indonesia mulai muncul Partai Pemuda Indonesia (khusus pemuda), Partai Gerindra (penokohan Prabowo), Partai Demokrat (penokohan SBY), ataupun Partai Hanura (penokohan Wiranto).

Partai politik mulai kehilangan daya tarik di mata warganegara. Selain “kehilangan ide” sehingga membangkitkan tokoh atau status sosial tertentu, kini banyak partai yang berubah menjadi apa yang dinyatakan Peter Mair sebagai “partai kartel.” Partai-partai ini cenderung menyelamatkan diri mereka dengan lebih fokus pada struktur pemerintahan ketimbang mendekatkan diri dengan pemilih mereka. Tidak heran, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik merosot tajam.

Turunnya animo masyarakat untuk jadi anggota partai juga meningkatnya sikap “mengambang” partai adalah penting guna memahami sisi input politik kontemporer. Penurunan ini berakibat pada kurangnya legitimasi dan akuntabilitas publik suatu negara demokratis. Partai dan para pimpinannya yang bertipikal “datang dan pergi” akan mempengaruhi birokrasi secara negatif. Apa yang menarik bagi pimpinan partai politik adalah area pembuatan kebijakan, bukan pada aspek implementasi dari kebijakan tersebut.

Paradoks dari demokrasi kini adalah, tatkala partisipasi politik warganegara diharapkan tinggi demi mengabsahkan suatu pemerintahan, ternyata justru partisipasi tersebut menurun. Namun, kesuraman ini bukannya tanpa harapan. Bentuk-bentuk partisipasi (politik) lain kini tengah terbangun dan mengalami perluasan sehingga kehidupan demokrasi dapat menemui pemulihannya. Bentuk itu menekankan pada lewat cara apa warganegara dapat berpartisipasi dalam suatu program pemerintah yang langsung mempengaruhi diri mereka.

Rumitnya Pelayanan Publik

Dalam model pemerintahan dan pemberian pelayanan tradisional, sangat kurang hubungan antara organisasi publik dengan pelayanan. Walsh and Stewart menunjukkan salah satu karakteristik manajemen publik tradisional adalah negara satu-satunya yang sanggup dan boleh memberikan pelayanan publik. Kecuali di Swedia, tindak pemberian pelayanan hanya mengkaitkan departemen/kementrian dengan otoritas politik daerah.

Kendati model pemberian pelayanan tradisional terkesan mampu menyelesaikan tugasnya, ia mengandung proses hirarkis dan tampak menjauhkan publik dari keterlibatan efektif mereka. Publik awalnya terlibat di tingkat pemilihan (meski tak langsung) pejabat lewat pemilu, ironisnya pemilih tersebut kini tidak dilibatkan dari mendesain kegiatan pelayanan publik. Model tradisional ini mengasumsikan publik tidak memiliki kepentingan seputar kebijakan yang diarahkan pada mereka. Publik juga dipandang tak punya kualitas teknis dan legalitas atas layanan pemerintah.

Model pelayanan publik semacam itu kini telah berubah secara drastis. Bentuk baru kegiatan pelayanan publik dikenal sebagai New Public Management (NPM). Dalam NPM, organisasi pemerintah berperan selaku pengarah bukan pemain. Maknanya adalah, pemerintah dipandang lebih baik berperan sebagai pembuat kebijakan saja ketimbang juga menjalankan kebijakan tersebut. Ini merupakan akibat dari tidak efektifnya birokrasi yang diselenggarakan pemerintah. Kini telah mulai banyak negara yang mempraktekkan NPM, di mana kerja-kerja birokrasi pemerintah diserahkan kepada organisasi masyarakat sipil, baik yang bersifat otonom maupun semi-otonom.

Perpindahan dari pemerintah selaku satu-satunya penyelenggara pelayanan publik ke tangan organisasi di level warganegara, telah melemahkan mekanisme akutabilitas tradisional. Ini memaksa diciptakannya format-format alternatif guna mempertahankan agar birokrasi-birokrasi pemerintah tersebut tetap akuntabel. Secara umum, terjadi peralihan dari bentuk-bentuk akuntabilitas hirarkis menjadi berpola kompetitif dan mutualistik. Bentuk akuntabilitas yang tidak lagi konvensional ini membutuhkan keterlibatan klien dari program. Warganegara sebab itu perlu terlibat dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi output dari suatu program publik, termasuk memobilisasi guna mengkomplain performa yang kurang beres.

Gerakan untuk membentuk format pelayanan publik baru dan kompleksitas dari pilihan itu cenderung berakibat kebingungan di antara masyarakat. Bagi banyak jenis layanan publik adalah sulit menentukan siapa yang sesunggugnya bertanggung jawab. Ujungnya, warganegara tidak lagi punya konsepsi jernih seputar apa yang dilakukan pemerintah sesungguhnya.

Penggunaan agen atau organisasi dalam pelaksanaan pelayanan publik juga menawarkan jalan bagi terciptanya akuntabilitas. Contoh, meski suatu PT ditunjuk KPU untuk mengadakan surat suara, bukan berarti publik atau pemerintah tidak bisa mengontrol kegiatannya. Pemerintah dapat menggunakan otoritas legal mereka untuk melakukan kendali mutu dan sejenisnya, terutama budget. Publik pun dapat mengamati kegiatan PT tersebut, meneliti pembukuannya, dan kualitas surat suara yang dihasilkan. Ini lebih mudah memancing keterlibatan warganegara ketimbang surat suara dicetak oleh Peruri atau KPU sendiri.

Tentu saja, pelibatan masyarakat dalam model layanan baru pemerintahan tidak individual. Masyarakat terlibat melalui organisasi-organisasi yang mereka bentuk (misalnya LSM, kelompok mahasiswa atau perguruan tinggi).

Aspek penting lain dari model baru layanan publik ini adalah terbentuknya pola-pola kemitraan baru antara pementah dengan organisasi tingkat warganegara. Kemitraan tersebut dapat dilembagakan sehingga mirip dengan “birokrasi pemerintah” itu sendiri.

Menciptakan Politik yang Demokratis

Kendati peran birokrasi publik penting dalam implementasi kebijakan, posisi mereka kerap sekadar “nomor dua” dalam pemerintahan yang demokratis. Birokrasi publik berfungsi selaku mediator antara pemerintah dengan warganegara. Sebab itu, masyarakat lebih sering melakukan kontak dengan birokrat ketimbang dengan pemerintah yang mereka pilih.

Kontak yang terjadi antara warganegara dengan birokrat penting guna menentukan sebaik apa pelayanan pemerintah telah dilakukan. Juga, kontak ini memainkan situasi penting dalam memperkirakan bagaimana publik memandang pemerintah dan legitimasi mereka di sektor publik.

Banyak orang jarang (atau bahkan tiada pernah) bertemu wakil yang mereka pilih di pemilu. Orang yang kerap mereka temui adalah birokrat, entah itu di kelurahan, kecamatan atau kepolisian. Sebab itu, bagaimana “wajah” layanan birokrasi sangat penting dalam menjaga kewibawaan pemerintah secara lebih jauh. Legitimasi “downward” atas pemerintah ditentukan oleh kegiatan layanan ini.

Di sisi lain, birokrasi yang langsung bersentuhan dengan warganegara tersebut dapat bertindak selaku pengumpul informasi. Birokrat tingkat bawah sering melakukan kontak dengan klien mereka (warganegara). Birokrat ini dapat saja memberi masukan berharga tatkala pemerintah membuat suatu kebijakan. Secara lebih jauh, birokrat tersebut dapat berlaku sebagai “wakil rakyat”.

Output Demokrasi

Kajian di atas sesungguhnya hendak mengalihkan perhatian pelaksana negara dari fungsi input (pembuatan kebijakan) kepada fungsi output (pelaksanaan kebijakan). Ini merupakan semangat dari New Public Management yang concern dengan manajemen output suatu kebijakan.

Secara khusus, NPM hendak mengukur apa yang sudah dilakukan oleh sektor publik pemerintah. Pengukuran salah satunya dilakukan atas kepuasan warganegara atas layanan yang diberikan pemerintah. Juga pelayanan yang melibatkan partisipasi publik meski dalam skala pasif saja.

Asumsi format demokrasi konvensional adalah input diyakini mampu mengontrol output sektor publik. Juga, input diyakini mampu menghasilkan program-program yang memang dibutuhkan masyarakat. Cara pandang NPM tampak relatif baru, tetapi sesungguhnya telah berlaku sekurang-kurang selama beberapa dekade. Pola-pola korporatisme negara, khususnya pluralisme korporatis di negara-negara Skandinavia (Swedia, Finlandia, Norwegia) juga memberi kesempatan bagi partisipasi politik di sisi output kebijakan (sektor publik) dan mampu melengkapi jenis partisipasi politik konvensional semacam voting dan pelibatan diri dalam partai politik.

Hasil yang diharapkan dari skema baru hubungan demokrasi dan birokrasi adalah, kontrol terhadap pejabat publik lebih terkonsentrasi di tingkat pelaksana. Bukan lagi di tingkat pemilihan calon pejabat tatkala pemilu. Namun, ini tentu tanpa mengabaikan penjagaan kualitas penyelenggaraan pemilu, termasuk caleg/capres.

Kesimpulan

  • Apa yang hendak disampaikan mengenai kajian birokrasi dan demokrasi di atas adalah :
  • Pertama. Birokrasi dan Demokrasi merupakan dua konsep yang tampak paradoks (saling bertentangan). Birokrasi menekankan efektivitas dan netralitas, sementara Demokrasi menekankan inklusivitas dan tawar-menawar kebijakan. Birokrasi menekankan pada fungsi output sistem politik, sementara Demokrasi menekankan pada fungsi input sistem politik.
  • Kedua. Menurunnya level partisipasi politik, jika dibiarkan, membuat pemerintah kehilangan legitimasinya di kalangan warganegara. Sebab itu perlu dicari bentuk baru partisipasi politik warganegara di dalam sebuah demokrasi.
  • Ketiga. Tatkala Pemilu selesai dan wakil rakyat atau eksekutif terpilih, maka menjadi tugas dari kalangan Birokrasi untuk mengimplementasikan program-program yang dibuat oleh para penyusun undang-undang. Performa implementasi program tersebut oleh aparat Birokrasi amat menentukan bagaimana nantinya warganegara memandang pemerintah yang orang-orangnya mereka pilih saat Pemilu.
  • Keempat. Hingga saat ini pola pemerintahan demokrasi pemerintahan konvensional masih menggejala. Ini tampak tatkala mengimplementasikan suatu program/kebijakan, kementrian menyusun perangkat pelaksana menurut undang-undang dan langsung didelegasikan pelaksanaannya kepada pemerintah daerah.
  • Kelima. Pola pendelegasian dari kementerian kepada pemerintah daerah kurang membuka ruang bagi pelibatan warganegara akan program-program pemerintah. Sebab itu kemudian muncul perspektif baru hubungan Birokrasi dan Demokrasi bernama New Public Management.
  • Keenam. New Publik Management adalah pendekatan baru yang bertujuan memangkas kekakuan birokrasi negara dengan memperbesar kesempatan terlibatnya warganegara dalam kegiatan pelayanan publik. 

-------------------------------------------
Referensi
  • B. Guy Peters, Bureaucracy and Democracy, SOG Conference November 2008, University of Pittsburgh.
  • Forrest Vern Morgenson III, Reconciling Democracy and Bureaucracy: Towards a Deliberative-Democratic Model of Bureaucratic Accountability, Doctor of Philosophy Dissertation, University of Pittsburgh, 2005.
tags
pengertian birokrasi demokrasi hubungan birokrasi dan demokrasi kelemahan demokrasi peran birokrasi dalam demokrasi masyarakat jenuh bosan politik

Pengertian Demokrasi Lokal

Demokrasi lokal adalah demokrasi yang terjadi di level lebih bawah dari hirarki pemerintahan suatu negara. Sementara itu, kajian Birokrasi dan Demokrasi utamanya ditujukan mengefektifkan tujuan-tujuan pemerintahan demokrasi dalam memenuhi janji terhadap para konstituen. Salah satunya adalah, lewat penitikberatan pada kinerja birokrasi. Publik diarahkan lebih mendekati “kerja-kerja nyata” pemerintahan, tidak seperti kondisi saat ini yang seperti “teralienasi” dari implementasi perilaku pemerintah.

Dengan lain perkataan, diupayakan suatu pengalihan titik perhatian dari aspek input sistem politik kepada output. Salah satu upaya kea rah pemberdayaan partisipasi politik public ini adalah dengan demokrasi tingkat local. Jarak antara konstituen dengan pejabat public terpilih relative lebih dekat dengan “daerah” ketimbang “pusat.” Terlebih kini daerah telah punya kewenangan yang semakin besar dalam memproduksi dan mengimplentasikan kebijakan yang punya efek atas masyarakat. Potret Indonesia

Signifikansi demokrasi di tingkat local semakin terlihat tatkala banyak keputusan-keputusan yang khas ditujukan hanya pada satu wilayah. Keputusan spesifik ini membutuhkan persetujuan dari public, baik tatkala disusun maupun dijalankan. Misalnya di Indonesia, implementasi kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dipegang oleh Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten, bukan pusat. Tanpa partisipasi yang efektif dan efisien dari warganegara, mustahil kebijakan yang baik tersebut terlaksana. Sifat dari dari demokrasi di tingkat local pun tidak ‘seabstrak’ demokrasi di tingkat Negara.

Bahan kuliah Demokrasi di Tingkat Lokal ini sebagian besar diambil dari Buku Panduan International IDEA mengenai keterlibatan, keterwakilan, pengelolaan konflik dan kepemerintahan. Alasannya adalah, penjelasan yang ada di buku tersebut cukup sederhana, efektif, dan mudah dipahami oleh sebab sifatnya sebagai buku panduan praktis.

Konsep-konsep Kunci Demokrasi Lokal

Demokrasi tingkat lokal adalah suatu konsep yang berupaya mendekatkan alam bernegara kepada individu. Jarak, sebagai suatu hal yang kerap membuat warganegara punya political efficacy yang rendah, dipangkas oleh konsep ini. Sebab itu, demokrasi local kerap dipahami sebagai cara berdemokrasi (memerintah) di:
  • Dalam lembaga-lembaga pemerintahan local seperti walikota, dewan kota atau DPRD, komite-komite, dan pelayanan administrative;
  • Dalam pengorganisasian dan aktivitas masyarakat (civil society).

Secara ideal, kedua elemen di atas (pemerintah dan civil society) bekerja sama dalam melakukan penyusunan dan implementasi kebijakan. Keduanya merupakan partner kerja, kendati di alam kenyataan keduanya lebih merupakan “sparring enemy.” Sebab itu, demokrasi lokal memperkenal beberapa konsep yang bisa diacu guna mendekatinya sebagai berikut.

Kewarganegaraan dan masyarakat. Peran serta masyarakat lokal sesungguhnya adalah fondasi utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan, sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta segala proses pengambilan keputusannya memungkinkan terwujudnya praktik demokrasi yang lebih langsung, yang di dalamnya suara individu dapat didengar dengan lebih mudah.

Musyawarah. Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya terkandung unsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi yang bermakna, yang muaranya adalah mencari solusi bagi segala masalah yang timbul di dalam masyarakat. Perundingan atau musyawarah juga bukan sekadar mendengar dan menampung keluhan warga. Demokrasi berdasar musyawarah pasti melibatkan dialog yang bersifat saling memberi dan menerima antarkelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat tentang keputusan-keputusan terpenting dan tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan tanggung bersama-sama.

Pendidikan politik. Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses “pendidikan politik.” Maksudnya, peran serta warga masyarakat memungkinkan setiap individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan masalah di masyarakat, yang, jika tidak, hanya diketahui oleh pejabat terpilih atau para profesional pemerintahan di kantor walikota. Penduduk yang terdidik dan memiliki informasi akan membuat demokrasi “yang berarti pengambilan keputusan oleh rakyat” semakin mungkin dan efektif. Peran serta masyarakat berarti mengurangi jurang pemisah antara para elite politik dan anggota masyarakat.

Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. John Stuart Mill dan para pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal berpendapat bahwa membuka keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta mendukung tercapainya kesejahteraan sosial. Artinya, demokrasi cenderung meningkatkan hubungan yang baik antarwarga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki semangat sosial.

Demokrasi Langsung vs. Demokrasi Perwakilan

Ada dua mazhab filsafat yang menerangkan dua konsep demokrasi lokal yang agak saling bertolak belakang. Mazhab pertama, yang sejarahnya dapat dikaitkan dengan filosof Perancis Jean Jacques Rousseau, memandang demokrasi sebagai keterlibatan langsung warga masyarakat dalam hampir semua urusan yang menyangkut kehidupan umum.

Rousseau berkeyakinan bahwa peran serta seluruh warga masyarakat akan bisa mengungkapkan aspirasi umum mereka semua, dan bahwa cara terbaik untuk menentukan kehendak umum warga adalah melalui kekuasaan di tangan mayoritas.

Namun banyak pendapat yang mengatakan bahwa sistem dan bentuk pemerintahan lokal di masa sekarang sudah terlalu “besar” untuk mengakomodasi keterlibatan langsung warga masyarakat. Wujud demokrasi terbaik dan paling praktis yang bisa kita harapkan adalah demokrasi perwakilan, yang di dalamnya warga memilih calon wakil mereka atau partai politik yang membuat keputusan otoritatif bagi seluruh masyarakat. Banyak pihak yang berpendapat bahwa demokrasi perwakilan paling cocok diterapkan untuk demokrasi lokal.

Ada saja orang yang bertanya-tanya apakah mungkin di zaman moderen ini gagasan demokrasi langsung bisa diwujudkan, padahal tema ini tidak habis-habisnya muncul di dalam polemik filsafat kontemporer, bahkan dalam praktik sehari-hari. Sebagai contoh, mantan Presiden Tanzania Julius Nyerere pernah mempopulerkan semacam gerakan sosialisme desa (villagization) dan ujamaa (komunitas) di negaranya. Pada 1967, dalam Deklarasi Arusha, Nyerere mencanangkan gagasan sosialisme desa yang berdasar atas hubungan kekerabatan, komunitas, kemandirian, gotong-royong, dan pembangunan lokal secara swasembada.

Falsafah Nyerere membayangkan sebuah komunitas sosial dan ekonomi yang di dalamnya orang-orang hidup berdampingan dan bekerja bahu-membahu demi kesejahteraan semuanya. Namun, Tanzania versi Nyerere itu 90 persen rakyatnya hidup di pedesaan. Ukuran desa atau kota memang acap kali dituding sebagai faktor penghambat terwujudnya demokrasi langsung. Semakin besar sebuah kota, kian kecil kemungkinan di sana bisa diterapkan demokrasi langsung.

Demokrasi Adversarial vs. Demokrasi Kolaboratif

Demokrasi perwakilan menyiratkan adanya pendekatan yang sifatnya “bermusuhan” atau bersaing dalam menentukan apa yang terbaik bagi seluruh masyarakat. Calon wakil rakyat yang potensial harus tampil di muka umum dan memperebutkan dukungan mereka.

Dalam upaya ke arah itu perbedaan sosial dan rasa permusuhan akan menjadi kian tajam pada saat pimpinan-pimpinan politik melancarkan pesan kampanye mereka. Para pendukung demokrasi perwakilan berpendapat bahwa kompetisi antar calon pemimpin politik itu justru memberi vitalitas dan akuntabilitas di dalam kancah politik. Namun, tidak sedikit yang bersikap skeptis terhadap pendekatan kompetitif itu, terutama yang hanya bersandar pada pembuatan keputusan mayoritas. Mereka lebih memilih proses dan struktur pengambilan keputusan yang mengutamakan tercapainya consensus ketimbang kompetisi untuk merebutkan jabatan.

Banyak yang percaya bahwa kini ada kecenderungan perhatian terarah ke demokrasi perwakilan daripada demokrasi langsung dan pengambilan keputusan yang bersifat persaingan ketimbang kolaboratif. Fokus pada pemilu dan perbedaan yang tajam antara platform politik yang diusung partai-partai kontestan pemilu telah menciptakan jarak antara warga masyarakat dan para pejabat public sehingga meningkatkan perpecahan antarkelompok-kelompok sosial. Akibatnya, warga umumnya menjadi apatis dan alergi terhadap kehidupan politik.

Akademisi yang meneliti penyelenggaraan pemerintahan lokal di masa kini mengemukakan kian merosotnya legitimasi lembaga-lembaga pemerintahan lokal, dan meluasnya ketidakpercayaan masyarakat pada kemampuan partai-partai politik lokal dalam mewakili dan mengkoordinasikan kepentingan masyarakat yang beraneka-ragam.

Salah satu indikator menjauhnya publik dari panggung politik adalah rendahnya jumlah pemilih yang memberikan suara. Menurut laporan International IDEA perihal jumlah pemilih, “Total keikutsertaan dalam pemilu-pemilu kompetitif di seluruh dunia meningkat tajam antara tahun 1945 dan 1990… Namun pada dasawarsa 1990-an, seiring dengan meningkatnya pemilu kompetitif di negara-negara demokratis yang baru, rata-rata keikutsertaan pemilih di dalam pemilu-pemilu yang dilaksanakan sejak 1990 merosot drastis hingga 64 persen.

Meskipun tingkat keikutsertaan dari seluruh pemilih yang berhak memberi suara hanya sedikit berkurang, tingkat keikutsertaan mereka yang benar-benar mendaftar sebagai pemilih anjlok secara dramatis.” Meski belum ada data yang pasti tentang hal ini, kebanyakan pakar sepakat bahwa jumlah total pemilih yang memberikan suara dalam pemilu lokal jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pemilu nasional. Akhir-akhir ini timbul keprihatinan tentang besarnya peran jajak pendapat publik, kontribusi finansial, serta penggunaan jasa konsultan dalam membentuk agenda publik yang menafikan suara murni masyarakat lokal dan mengakibatkan menjamurnya sikap sinis dan apatis dari warga.

Struktur partai-partai politik lokal juga dipertanyakan dalam kapasitasnya sebagai lembaga sosial yang efektif, terutama di Amerika Utara dan Eropa Barat. Isu-isu yang semula menjadi amunisi perjuangan partai-partai di Eropa, misalnya isu kelas sosial, sekarang tampak kehilangan relevansinya di dunia dengan mobilitas sosial yang tinggi dewasa ini. Kenyataan ini menimbulkan krisis penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal di beberapa tempat, disusul oleh munculnya struktur pemerintahan terfragmentasi, yang beberapa di antaranya dipaksakan oleh pemerintah pusat sebagai jawaban atas ketidakmampuan pemerintah lokal untuk mengambil langkah tegas.

Keprihatinan akan legitimasi pemerintahan ini membuat banyak pihak mengusulkan untuk mengkaji ulang isu aksesibilitas, kesamarataan (equality), serta penyegaran kembali peran serta masyarakat. Seiring dengan gencarnya tuntutan desentralisasi kekuasaan, kian mengental pula pertanyaan-pertanyaan yang mempersoalkan legitimasi pemerintah. Pengikutsertaan dan keterlibatan masyarakat merupakan faktor penting dalam upaya menumbuhkan kepercayaan dan akuntabilitas sebagai syarat utama untuk meyakinkan masyarakat akan kualitas demokrasi lokal.

Tantangan Pemerintahan Lokal

Beberapa tantangan kemudian dihadapi tatkala suatu demokrasi local hendak diterapkan. Tantangan-tantangan ini menarik akibat sifatnya yang “real” dan memunculkan peluang political efficacy kalangan warganegara.

Melayani Publik. Melayani masyarakat merupakan fungsi utama pemerintah lokal, terutama pelayanan yang memerlukan koordinasi lokal, jaringan kerja, infrastruktur, atau perencanaan. Di antara tantangan-tantangan terpenting yang dihadapi pemerintah lokal adalah:
  • Kejahatan, kekerasan umum atau politik, menjaga ketertiban, dan tata laksana peradilan lokal;
  • Pendidikan, yang kerap melibatkan keputusan sensitif berkaitan dengan bahasa atau latar belakang budaya di dalam masyarakat multi-etnis yang kian majemuk;
  • Manajemen lingkungan dan kelangkaan sumber daya, terutama masalah air dan sanitasi (pengumpulan sampah, penanganan saluran pembuangan);
  • Perumahan, terutama pemukiman masyarakat berpenghasilan rendah, serta mengelola pola-pola pemukiman yang kondusif untuk menciptakan keharmonisan antar etnis di wilayah kota yang multi-etnis;
  • Pengangguran dan dislokasi ekonomi, serta perlunya memposisikan kota secara kompetitif untuk menjaring investasi baru di dalam perekonomian global;
  • Pelayanan kesehatan dan manajemen rumah sakit, terutama dengan munculnya bentuk-bentuk baru penyakit infeksi yang berdampak terhadap kesejahteraan sosial, sementara masalah-masalah penyakit lama masih belum teratasi;
  • Migrasi, yang sering berupa membanjirnya komunitas imigran miskin dan pengungsi, atau pengungsi dari daerah pedesaan yang miskin;
  • Isu-isu regional, misalnya masalah pemakaian sumber daya air dan udara dengan daerah lain; dan
  • Transportasi, kemacetan lalu lintas, dan metode untuk mengangkut masyarakat dari tempat tinggal ke tempat kerja mereka setiap hari.

Urbanisasi. Dewasa ini, lebih dari 3,2 milyar orang – lebih dari separuh penduduk dunia – tinggal di perkotaan. Angka ini berasal dari kenaikan urbanisasi hingga 20 kali lipat sepanjang abad ke-20; dan trennya memperlihatkan sedikit tanda-tanda akan berkurang.

Pertumbuhan penduduk dewasa ini paling cepat terjadi di perkotaan di negara- negara berkembang. Sebuah publikasi dari Worldwatch Institute melaporkan bahwa lonjakan penduduk di perkotaan di negara-negara berkembang akan menjadi tren demografi yang menonjol di abad mendatang, akan ada tambahan penduduk hingga 90 persen dari 2,7 miliar penduduk dunia saat ini antara 1995 dan 2030. Ledakan penduduk terdahsyat diperkirakan terjadi di Afrika dan Asia.

Meski urbanisasi mempunyai dimensi positif – banyak lompatan besar pembangunan terjadi di wilayah perkotaan – bertambahnya jumlah penghuni kota juga menghadirkan tantangan yang tidak kecil. Kota-kota dewasa ini, misalnya, hanya mengambil dua persen dari permukaan bumi tapi penduduknya mengkonsumsi 75 persen dari sumber daya yang ada.

Di antara masalah-masalah lingkungan perkotaan yang paling serius pada abad ke-20 adalah masalah perbaikan pasokan dan mutu air, pengerukan sampah perkotaan, transportasi, dan pemakaian lahan untuk membangun pemukiman yang lebih baik. Negara-negara berkembang dihadapkan pada masalah pemukiman liar, atau masyarakat penghuni liar, yang ditandai oleh absennya pelayanan dasar dan infrastruktur. Salah satu tantangan paling berat bagi pemerintah lokal adalah penyediaan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah.

Pada gambar di bawah ini dapat dilihat masalah-masalah umum yang dihadapi hampir seluruh walikota di dunia:

 
 
Globalisasi. Globalisasi merujuk pada perubahan sistem internasional setelah berakhirnya Perang Dingin pada akhir dasawarsa 1980-an. Istilah globalisasi mencakup beberapa dimensi perubahan dunia secara sistematis, yang antara lain langsung berdampak pada tata cara pelaksanaan pemerintahan lokal.

Perubahan ekonomi. Walaupun perekonomian internasional sekarang belum bisa dikatakan sudah sepenuhnya terintegrasi dan pemerintah nasional tetap berperan dalam proses pengambilan keputusan di bidang ekonomi, konteks ekonomi untuk pemerintahan lokal sudah sangat berubah. Kini telah muncul konsensus baru yang menyangkut model-model ekonomi berbasis pasar, kenaikan luar biasa arus modal internasional, perluasan perdagangan internasional yang pesat, kian besarnya pengaruh perusahaan-perusahaan multinasional, dan integrasi ke dalam perekonomian dunia oleh negara-negara yang semula tidak terlibat dalam sistem perekonomian global.

Perubahan politik. Kecenderungan ke arah demokrasi pada abad ke-20 berlangsung menakjubkan, dan hal itu telah menghasilkan sebuah consensus internasional yang luas mengenai nilai-nilai dasar bagi sistem politik, proses-proses demokrasi seperti pemilu dan pentingnya pranata masyarakat madani, dan prinsip-prinsip demokrasi seperti peran serta dan penyertaan (inclusion).

Demokratisasi di banyak negara telah menghasilkan masyarakat madani – jika diukur dari menjamurnya ornop atau LSM – yang pada gilirannya menunjukkan banyaknya aktor non-pemerintah yang terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan.

Perubahan teknologi. Revolusi informasi dan komunikasi di penghujung abad ke-20 telah menyentuh hampir seluruh negara dan kota di muka bumi ini. Meningkatnya akses informasi dan komunikasi telah mengakibatkan perubahan ekonomi, sosial, dan politik yang mendasar. Yang paling penting, revolusi itu telah membuka jalan yang lebih mudah untuk berbagi perspektif dan informasi, serta mempertimbangkan demokrasi dan masukan dari masyakarat secara langsung dengan cara yang pada beberapa tahun silam nyaris mustahil.

Kemajemukan Masyarakat. Kota-kota di seluruh dunia ini nyaris semuanya majemuk dari segi etnis. Di beberapa kota tertentu, misalnya Jerusalem, kemajemukan etnis merupakan pola sejarah yang tua. Di kota-kota lain kemajemukan mungkin dipandang sebagai fenomena baru yang timbul akibat membludaknya berbagai kelompok imigran lewat tapal batas negara belakangan ini – contohnya Oslo, Norwegia.

Di Amerika Serikat masalah imigran diakibatkan oleh terpuruknya perekonomian negara- negara Amerika Latin di satu sisi dan daya tarik kesempatan bekerja di Amerika Serikat yang luar biasa di sisi lain. Akibat yang ditimbulkan oleh puluhan tahun migrasi kaum Hispanik ke Amerika Serikat adalah perubahan pesat wajah kota- kota di wilayah tengah Amerika. Dari tahun 1990 hingga 2000 jumlah penduduk Hispanik di Amerika Serikat melonjak dari 22,6 juta menjadi 31,3 juta. Kaum Hispanik sekarang merupakan 10 persen dari total penduduk negara itu. Pada kebanyakan kota di Amerika Serikat kini konflik ras tidak hanya sebatas antara orang kulit putih dan hitam; orang Hispanik telah menjadi kaum minoritas yang signifikan maupun mayoritas.

Trend dalam Demokrasi Lokal

Untuk mengantisipasi tantangan-tantangan yang dibahas pada bagian terdahulu, struktur-struktur pemerintahan lokal di masa kini perlu berunjuk kerja secara berbeda. Cara berpikir dan fungsi tradisional – mendefinisikan nilai-nilai masyarakat dan menentukan opsi-opsi untuk publik – tetap ada, namun perlu disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan terkini yang ada.

Perkembangan-perkembangan itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  • Siapa? Kini banyak sekali fungsi pemerintahan lokal yang dijalankan dalam bentuk kemitraan strategis, atau hubungan kerjasama di antara para pejabat terpilih, sektor swasta, masyarakat madani dan organisasi massa, dan para warga masyarakat. Semakin banyak pejabat lokal membuat kontrak dengan perusahaan-perusahaan dan organisasi nirlaba yang berkemampuan lebih untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintah. Praktik melimpahkan fungsi pemerintahan kepada organisasi-organisasi swasta itu memang terbukti lebih efisien, namun menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai demokrasi. 

  • Bagaimana? Semakin banyak negara yang mendesentralisasikan kewenangan pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintahan terendah yang paling mungkin. Desentralisasi didorong oleh keinginan pemerintah pusat untuk membagi kekuasaan dan tanggung jawab, serta didorong oleh kebijakan lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia. 

  • Mengapa? Sekarang ini ada kecenderungan masyarakat internasional untuk mendefinisikan hak suatu daerah untuk mengurus diri sendiri (self-governance) sebagai hak asasi universal. Pada tataran regional maupun nasional, lembaga- lembaga internasional dan kelompok-kelompok multilateral kini telah mengadopsi standar-standar agar pemerintah nasional melimpahkan fungsi pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan khalayak sebagai cara untuk memaknai prinsip-prinsip demokrasi. Norma-norma inilah yang menyebarluaskan kewajiban internasional di semua Negara dunia untuk mendukung tumbuhnya demokrasi lokal.
Kemitraan Strategis

Kadang-kadang para pejabat dan pegawai pemerintahan tidak mampu, atau memang tidak cocok, untuk memberikan pelayanan tertentu secara efektif dan efisien kepada masyarakat. Banyak contoh di seluruh dunia, pemerintah local mulai menjalin kemitraan strategis dengan sektor swasta dan ornop, organisasi masyarakat madani, dan organisasi massa untuk menyediakan pelayanan local terpenting.

Dalam pelaksanaan nyata pelayanan itu, kentara sekali adanya kecenderungan melakukan swastanisasi, kemitraan antara pemerintah dan swasta, outsourcing (menyewa atau merekrut pihak lain untuk menjalankan suatu fungsi atau pelayanan jasa), dan korporatisasi sarana-sarana seperti air bersih, tenaga listrik, penanganan limbah, penyediaan pemukiman, pelayanan kesehatan, dan bahkan pelayanan fasilitas penjara. Ada dua bentuk hubungan kemitraan dengan tujuan yang agak berbeda.

Bekerja dengan masyarakat madani seperti ornop, organisasi massa, dan lain-lain adalah salah satu bentuk kerjasama itu. Kemitraan itu dijalin atas dasar pemikiran bahwa kelompok-kelompok masyarakat madani memiliki keunggulan komparatif dalam mengimplementasikan kebijakan atau mengatasi berbagai masalah. Mereka lebih dekat dengan masyarakat yang memerlukan pelayanan. Dalam skema kemitraan seperti ini pejabat lokal sering hanya berperan sebagai penyandang dana, pengawas, mitra kerja, atau spesialis. 

Bekerja dengan sektor swasta sering didasari alasan bahwa sektor ini memiliki keunggulan dalam menyediakan pelayanan bagi masyarakat lokal – misalnya air bersih, manajemen transportasi, tenaga listrik, atau pengumpulan sampah. Namun fondasi yang mendasari kemitraan itu lebih bermotif ekonomi; perusahaan-perusahaan swasta dapat menyediakan pelayanan itu dengan lebih efisien dan murah ketimbang pemerintah lokal. 

Meski masyarakat dan pemerintah kota kerap menikmati efisiensi berkat kemitraan seperti itu – lebih lancarnya penyediaan jasa – bisa saja akibatnya adalah tidak adanya transparansi. Artinya, para pejabat lokal kurang mengawasi apa yang sesungguhnya dikerjakan di dalam masyarakat, tapi setidak-tidaknya jasa dan pelayanan yang dibutuhkan memang tersedia.

Di Afrika bagian selatan, misalnya, pemerintah daerah mengandalkan perusahaan multinasional regional yang kuat — Eskom yang berbasis di Johannesburg — sebagai penyedia tenaga listrik. Dalam proses negosiasi dengan perusahan-perusahaan seperti itu pemerintah lokal dan para pihak terkait (stakeholder) sering merasa tidak berdaya atau dalam posisi tawar-menawar yang lemah. Kemitraan strategis pun kerap menimbulkan bencana bagi mitra swasta.

Bagi ornop dan organisasi massa independen, mereka kerap kehilangan kemandirian dan fleksibilitas apabila sumber keuangan mereka dipasok oleh pemerintah lokal. Mereka menjadi enggan menempuh risiko dan mencari solusi inovatif bagi masyarakat setempat, apabila mereka rasa solusi itu akan bertentangan dengan kebijakan lokal.

Organisasi-organisasi massa dan kehidupan sosial yang berserikat merupakan lem perekat masyarakat yang kukuh. Kehidupan masyarakat madani yang kuat memungkinkan terwujudnya demokrasi lokal dengan cara sebagai berikut:
  • Menyediakan layanan, yang kadang-kadang didanai oleh pihak-pihak swasta, yang pemerintah tidak punya atau kekurangan wewenang untuk menyediakannya, terutama pelayanan yang bersifat kemanusiaan untuk membantu rakyat miskin atau penyandang cacat;
  • Mengartikulasikan kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat dan mewadahi berbagai kebutuhan dan reformasi sosial, melalui perserikatan- perserikatan dan lembaga swadaya; dan
  • Menyediakan layanan teknis, seperti pengumpulan data mengenai masalah sosial, serta memberikan solusi praktis dengan konsep-konsep yang bervariasi.

Sebagai contoh, di Nikaragua telah didirikan jaringan khusus untuk ornop yang aktif di pemerintahan lokal, yang disebut Nicaraguan Network for Local Development (Jaringan Pembangunan Lokal Nikaragua). Jaringan itu menjalankan program-program pendidikan masyarakat, proyek-proyek pemilu dan mendorong partisipasi perempuan. Jaringan itu juga berperan serta dalam mengembangkan proses-proses pengambilan konsensus lokal di mana di dalamnya semua ornop, organisasi massa, dan pejabat lokal bahu-membahu mencari solusi bagi suatu masalah perkotaan yang spesifik.

Kecenderungan ke arah kemitraan strategis dengan kelompok-kelompok berbasis massa tampak menggejala baik di negara maju maupun negara yang tengah membangun demokrasi. Para pejabat yang terlibat dalam pembuatan kebijakan ini perlu mengingat pentingnya kepekaan terhadap faktor usia dan gender dalam menjalin kemitraan strategis. Banyak pakar di bidang demokrasi lokal berpendapat bahwa kaum perempuan, kaum muda, dan para manula kerap diabaikan atau secara sistematis sengaja tidak diberi ruang untuk berperan serta di dalam pemerintahan lokal.

Desentralisasi dan Pemerintahan Kooperatif

Istilah desentralisasi berarti prinsip bahwa keputusan yang menyangkut masyarakat sebisa mungkin dibuat oleh pejabat yang tingkatnya paling dekat dengan rakyat.

Di masa kini, sekitar 70 negara di dunia sedang menerapkan reformasi politik yang arahnya menuju ke desentralisasi dan memperkuat pemerintah lokal, antara lain Republik Dominika, Mongolia, Nepal, Pakistan, Tanzania, Thailand, Uganda, dan Yemen. Pada umumnya, negara-negara yang baru mengalami pergeseran kekuasaan ke arah rezim yang populer melakukan reformasi ini.

Banyak yang mendukung desentralisasi sebagai cara paling ampuh untuk mengkonsolidasikan kehidupan berdemokrasi, dengan menekankan manfaat-manfaat politis, ekonomis, serta administratif yang bisa diraih pemerintah dan masyarakat dari gerakan desentralisasi. Keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dari desentralisasi di negara-negara yang sedang membangung demokrasi adalah:
  • Politis. Meningkatnya kekuasaan rakyat dan wakil-wakil terpilih mereka.
  • Geografis. Timbulnya pemerataan populasi dan kegiatan ekonomi.
  • Administratif. Melimpahkan tanggung jawab perencanaan, manajemen, pengumpulan dana dari pemerintah pusat kepada petugas lapangan atau kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, atau kepada lembaga-lembaga semi-otonom; dan
  • Ekonomis. Meningkatkan efisiensi manajemen ekonomi oleh pemerintah melalui stimulasi dan regulasi yang baik.

Desentralisasi juga memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat madanidengan memperkuat:
  • Akuntabilitas dan transparansi pemerintah,
  • Pemecahan masalah,
  • Peluang-peluang untuk berbagi keahlian teknis dan sosial dalam proses pembuatan kebijakan,
  • Pengaruh masyarakat terhadap pengambilan kebijakan pemerintah, dan
  • Kontrol terhadap pengembangan program-program kebijakan yang mungkin harus diimplementasikan oleh organisasi non-pemerintah.

Sebagai contoh, banyak spesialis menunjukkan keberhasilan desentralisasi di negara-negara Amerika Latin sebagai contoh bagaimana cara mendekatkan pemerintah kepada masyarakat di dalam kondisi demokrasi baru. Namun desentralisasi kekuasaan bukanlah tanpa rintangan manakala upaya-upaya untuk menata kembali struktur politik berhadapan dengan struktur kekuasaan yang sekian lama bercokol, yang didukung oleh kultur politik yang mapan dan tidak kondusif bagi langkah-langkah untuk memasyarakatkan peran serta warga di dalam pemerintahan.

Namun, pemilu lokal yang demokratis telah membuktikan hasilnya – terutama dengan pemilihan walikota melalui pengambilan suara langsung yang menggantikan sistem lama, yakni pemilu tidak langsung yang selama sekian dasawarsa hanya menyuburkan budaya klik politik orang dalam.

Perkembangan lain yang terkait dengan hal ini adalah tumbuh suburnya jaringan pemerintah lokal di bawah naungan sistem desentralisasi, yang lazim disebut asosiasi pemerintah daerah. Baik di kota raksasa maupun di dusun-dusun terpencil, kini menjamur berbagai asosiasi dan jaringan para politisi daerah, manajer dan pemimpin politik di kancah regional, nasional, maupun internasional. Asosiasi asosiasi pemerintah daerah ini semakin penting saja kedudukannya, bahkan, pada beberapa konteks, asosiasi-asosiasi ini sangat penting peranannya sebagai pendukung demokrasi lokal dan desentralisasi kekuasaan.

Di Bolivia, misalnya, reformasi politik di tingkat lokal secara dramatis banyak meningkatkan akuntabilitas para walikota yang dipilih melalui pemilu langsung dan melalui perpanjangan masa jabatan. Inovasi-inovasi lainnya adalah dipopulerkannya pertemuan publik secara reguler, yang disebut Cabildos Abiertos, yang telah dilakukan di El Salvador dan Honduras. Di Brasil, perkembangan asosiasi masyarakat desa telah meningkatkan kualitas penyusunan anggaran keuangan untuk masyarakat, sedangkan di Chile, referendum merupakan cara yang ditempuh untuk mengambil keputusan mengenai pembelanjaan uang public yang memiliki kekuatan hukum.

Kecenderungan terbaru ke arah desentralisasi di berbagai konteks menunjukkan betapa tajamnya perbedaan antara negara-negara demokrasi yang telah mapan dan negara yang masih berada di fase transisi menuju demokrasi. Di Negara demokratis yang sudah maju, perubahan dan reformasi amat jarang terjadi, dan kalaupun ada pasti sangat pelan prosesnya; pola-pola hubungan dan interaksi antartingkat pemerintahan sudah lebih mapan dan menjadi rutinitas. Sebaliknya, pada negara-negara yang sedang menjalani transisi menuju demokrasi, bentuk hubungan antar tingkat pemerintahan sifatnya sering berubah-ubah dan sangat bervariasi. Dalam konteks ini, mendesain ulang sistem demokrasi merupakan kemungkinan yang amat nyata.

Norma-norma Internasional Terkini

Perkembangan norma-norma global dan mandat regional dari organisasi-organisasi internasional tentang pentingnya pengembangan demokrasi lokal adalah kecenderungan lain yang ikut menentukan bentuk pemerintahan lokal. Norma- norma internasional itu dimaksudkan untuk memastikan agar setiap penduduk di negara mana pun memiliki cara yang bermakna untuk melaksanakan haknya atas kemerdekaan dan kebebasan memilih seperti tertuang dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948.

Organisasi-organisasi regional sejauh ini sangat progresif dalam memantapkan norma-norma baru itu dalam menetapkan posisi pemerintahan lokal di dalam politik suatu negara. Dewan Eropa dan Organisasi Negara-Negara Amerika (Organization of American States atau OAS) juga sangat aktif dan gigih dalam menetapkan standar pemerintahan lokal regional. Di Eropa telah banyak dilakukan upaya untuk meningkatkan peran pemerintah lokal dalam menyikapi kian meningkatnya integrasi ekonomi dan prinsip desentralisasi dalam pemerintahan: semua keputusan yang mempengaruhi masyarakat dan dapat diputuskan di tingkat lokal harus dibuat di sana.

Di Amerika Latin, Unit Promosi Demokrasi OAS menyatakan bahwa desentralisasi, pemerintah lokal, dan peran serta masyarakat “merupakan isu-isu yang kian penting dalam agenda demokrasi di belahan bumi utara” sehingga organisasi itu berusaha keras memajukan pendekatan ini melalui berbagai pelatihan, lokakarya, kegiatan riset, publikasi, dan pemberian bantuan teknis.

Pekerjaan besar ini dilaksanakan dalam konteks norma standar regional yang diadopsi oleh organisasi itu pada awal era 1990-an sebagai dukungan bagi gerakan demokrasi yang berhasil menumbangkan pemerintahan otoriter. Sebagai contoh, di Santiago (Chile) pada 1991, organisasi itu mengadopsi Resolusi 1080 mengenai “Demokrasi Perwakilan” yang mengharuskannya mengambil langkah atau respons yang cepat dan tegas manakala terjadi “masalah sosial dan ekonomi yang serius dan dapat mengancam stabilitas pemerintah yang demokratis”.

-------------------------------------------
Referensi

Timothy D. Sisk, Demokrasi di Tingkat Lokal, (International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2002).

tags
pengertian demokrasi lokal tingkat demokrasi lokal jenis-jenis demokrasi lokal masalah pemerintah lokal desentralisasi kota pemerintah pusat hubungan