Featured
Featured
Gallery
Technology
Video
Games
Recent Posts
Monday, February 10, 2020
Saturday, April 14, 2012
Hubungan E-Government dengan Demokrasi
Pengertian e-government dan hubungan dengan demokrasi dapat dicari pada karakteristik-karakteristik yang dimiliki demokrasi. Dalam demokrasi masalah-masalah seperti keluasan cakupan, transparansi, control terhadap agenda yang dilaksanakan para wakil rakyat semakin menjadi kebutuhan. Masalah-masalah ini semakin menemukan jalan keluar seiring perkembangan teknologi, khususnya di bidang informasi. Internet, sebagai inovasi teknologi informasi, membuat berkembangkan sebuah jenis mekanisme pemerintahan yang disebut E-Government (Electronic Government).
E-Government berkembang seiring kebutuhan masyarakat akan informasi. Sisi-sisi yang tadinya tidak atau jarang diketahui masyarakat sehubungan kinerja pemerintah, dengan E-Government mulai terkuak. Partisipasi warganegara untuk mengetahui dan mengontrol agenda public semakin terbuka melalui E-Government ini. Potret Indonesia
Dalam pengertian demokrasi secara substansial, hal-hal seperti keterbukaan dan pelibatan warganegara kemungkinan mulai dapat terselenggara lewat E-Government ini. Publik dapat mengetahui berapa jumlah partai yang ikut serta pemilu, siapa nama-nama caleg, perkembangan koalisi pemerintahan, kasus-kasus yang menimpa wakil rakyat, pesan-pesan warganegara terhadap anggota legislative, diyakini dapat terselenggara lewat mekanisme E-Government ini secara langsung.
Tulisan ini hendak mengupas hubungan antara E-Government dengan Demokrasi. Demokrasi erat berkait dengan kemampuan warganegara dalam mempengaruhi fungsi input sistem politik. Komunikasi politik, sosialisasi politik, artikulasi kepentingan, rekrutment politik, dan agregasi kepentingan, merupakan beberapa fungsi input sistem politik yang penting. Fungsi-fungsi input tersebut memiliki kemungkinan tersebar aksesnya secara lebih luas lewat E-Government ini. Ini guna mengatasi terbatasnya penyelenggaran fungsi-fungsi input konvensional. Agen-agen yang melangsungkan fungsi input (partai politik, LSM, pemerintah, pers) dapat memanfaatkan E-Government untuk tujuan-tujuannya sendiri.
Definisi E-Government
Apakakah E-Government itu? Terlalu banyak definisi yang diberikan oleh para pakar seputar konsep ini. Namun, tulisan ini akan membeberkan beberapa di antaranya yang sesungguhnya satu sama lain memiliki beberapa persamaan.
Shailendra C. Jain Palvia and Sushil S. Sharma mendefinisikan E-Government sebagai:
… a generic term for web-based services from agencies of local, state and federal governments. In e-government, the government uses information technology and particularly the Internet to support government operations, engage citizens, and provide government services. The interaction may be in the form of obtaining information, filings, or making payments and a host of other activities via the World Wide Web.1
Zhiyuan Fang, pada sisi lain, mendefinisikan E-Government sebagai:
… as a way for governments to use the most innovative information and communication technologies, particularly web-based Internet applications, to provide citizens and businesses with more convenient access to government information and services, to improve the quality of the services and to provide greater opportunities to participate in democratic institutions and processes.2
Eduardo Contreras Budge, juga mendefinisikan E-Government sebagai:
… is the systemic use of information and communication technologies (ICTs) to support the functions that a government performs for its constituents, typically the provision of information and services.3
Tiga definisi di atas mengaitkan konsep-konsep pemerintahan dengan penggunaan teknologi informasi, khususnya yang berbebasis world wide web (www), guna meningkatkan layanan pemerintah kepada public. Layanan ini dapat berupa penyediaan informasi dan merumuskan “what public wants.”
Layanan-layanan yang biasa diberikan lewat mekanisme E-Government cukup bervariasi. Palvia dan Sharma membaginya menjadi 4 lini, yaitu: Government to Citizen, Government to Business, Government to Government, dan Government to Constituens.4
Government to Citizen. Aktivitas ini menandai penyediaan pemerintah akan akses online atas informasi serta layanan kepada warganegara. Ini memungkinan warganegara mengajukan pertanyaan terhadap agen-agen pemerintah dan jawabannya; mengetahui pajak pendapatan (daerah, pusat, dan pemerintahan local); membayar pajak; memperbarui surat izin mengemudi; membayar tilang; ataupun mengubah alamat tempat tinggal (mengurus KTP).
Pemerintah dapat saja menyebarkan informasi mengenai diri mereka di internet; menyediakan layanan download formulir-formulir tertentu; menginformasikan lowongan pekerjaan; menyediakan informasi turis dan rekreasi; ataupun menyediakan konsultasi masalah kesehatan dan keamanan.
Government to Business. Pemerintah di sini melakukan ‘two ways interaction’ dan transaksi lewat internet baik antara government to business maupun business to government. Sistem tender terbuka melalui mekanisme E-Government bertajuk Government to Business ini. Sebagai contoh, pemerintah HongKong menyediakan informasi-informasi seperti Electronic Tendering System (ETS) dan HK Post e-Cert, yaitu penerbitan sertifikat digital kepada individu dan organisasi.
Government to Government. Mengetengahkan aktivitas antar departemen atau organisasi pemerintahan. Aktivitas ini dimaksudkan demi mencapai efektivitas dan efisiensi kerja seluruh operasi pemerintahan. Di Amerika Serikat, sebagai missal, terdapat Intelink, yaitu teknologi intranet yang menyediakan informasi-informasi yang telah terklasifikasi dan disebarkan kepada seluruh agen intelijen.
Government to Constituent. Dikenal pula sebagai E-Democracy. Ia mengacu pada aktivitas online pemerintah, wakil rakyat, partai politik, dan warganegara dalam masalah proses-proses demokrasi. Ini termasuk diskusi dan konsultasi online antara wakil rakyat dengan konstituennya. Di situ www.dpr.go.id (milik DPR-RI) telah disediakan perangkat chatting dan nomor kontak wakil rakyat. Tujuannya, konstituen dapat mendiskusikan dan mencari solusi atas masalah-masalah kebijakan yang ditemui. Atau, menagih janji kampanye, tentunya. Di Korea Selatan, para politisi menggunakan internet guna menjaring pemilih.
Aspek lain dari Government to Constituen adalah electronic voting. Selama ini memang masih berlangsung voting manual dengan kertas suara yang menghabiskan cost besar. Memang mekanisme voting pemilu tidaklah sederhana. Ia mengkaitkan proses registrasi dan otentifikasi, untuk kemudian dilanjutkan proses perhitungan suara. Namun, di India E-Voting sudah pernah digunakan dalam Pemilu 2004. Dalam pemilihan anggota parlemen tersebut, India menggunakan 600.000 mesin voting elektronik.
Mesin yang digunakan India diproduksi oleh Electronics Corporation of India dan Bharat Electronics. Mesin-mesin ini dioperasikan dengan batere dan sifatnya portable (mudah dipindahkan), mudah dioperasikan, reliable, dan bebas error. Pengoperasian mesin melibatkan pengawasan oleh pejabat resmi di TPS-TPS. Pemilih yang buta aksara terbantu akibat adanya tanda pemilih berupa logo dan gambar dari para kandidat dari partai politik yang ikut pemilu.
Keempat hal di atas merupakan lokus dari kegiatan E-Government yang satu sama lain memiliki wilayah kerja sendiri-sendiri. Kajian E-Government dan Demokrasi kiranya patut diletakkan dalam lokus yang keempat, yaitu Government to Constituent.
Pertanyaan kemudian adalah, seberapa signifikan peran dari E-Government dalam tata kehidupan demokrasi? Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) menandai 6 signifikansi dari E-Government yaitu: (1) E-Government meningkatkan Efisiensi; (2) E-Government meningkatkan Pelayanan; (3) E-Government membantu pencapaian hasil kebijakan; (4) E-Government berkontribusi atas sasaran kebijakan ekonomi; (5) E-Government berkontribusi atas Reformasi; (6) E-Government mendorong Trust antara Pemerintah dan Warganegara.5
Selain itu, Eduardo Contreras Budge menandaskan E-Government mampu berkontribus pada hal-hal seperti peningkatan efisiensi operasi pemerintah, peningkatan transparansi, dan memodernisasi sector public.6 Efisiensi operasi pemerintah diperoleh berkat otomatisasi/digitasi fungsi-fungsi administrasi, yang dengan lain kata menyederhanakan proses dan penyampaian layanan.
Peningkatan transparansi, juga akuntabilitas, diperoleh memungkinkan sector public memperluas peran mereka berdasar tesis penyedia layanan yang client-oriented. Juga, E-Government memungkinkan operasi pemerintah berikut hasilnya terbuka bagi public. Selain itu, E-Government juga memungkinkan terjadinya modernisasi atas sector public. Satu tesis dasar modernisasi adalah pencapaian efisiensi kerja dengan biaya yang kecil. Lewat E-Government, pemerintah mampu menghemat dana penyebaran informasi konvensional dengan penyebarannya lewat internet, terlebih ke daerah-daerah yang mahal sarana transportasinya.
E-Government dan Demokrasi
Lalu, apa hubungan antara E-Government dan Demokrasi? Kaitan antara E-Government dan Demokrasi terletak pada tujuan dari demokrasi dan bagaimana kemungkinan pencapaian atas itu terselanggara lewat mekanisme E-Government. Kesulitan dari Demokrasi Perwakilan (representative democracy) ini adalah desentralisasi peran politik warganegara kepada wakil rakyat (legislatur). Akibat sejumlah factor, penyampaian kepentingan dari warganegara tidak terselenggara secara maksimal. Untuk itu diperlukan terobosan baru bagaimana warganegara dapat menentukan kinerja fungsi input pemerintahan. E-Government membuka kesempatan tersebut.
Steven N. Clift menunjukkan sejumlah tujuan yang inheren di dalam demokrasi dan kaitannya dengan E-Government.7 Ketujuh tujuan tersebut adalah : (1) Kepercayaan dan Akuntabilitas; (2) Legitimasi dan Pemahaman; (3) Layanan dan Kepuasan WargaNegara; (4) Jangkauan Akses; (5) Perwakilan Efektif dan Pembuatan Keputusan; (6) Partisipas lewat Fungsi Input dan Konsultasi; dan (7) Keterlibatan dan Kesengajaan.
Kepercayaan dan Akuntabilitas. Jika diajukan pertanyaan kepada warganegara seputar apa yang mereka inginkan dari pemerintah, maka akan diperoleh jawaban mayoritas seputar keinginan terbentukan pemerintah yang didasarkan trust dan akuntabilitas. Perhatikan hasil surver Clift terhadap masyarakat Amerika Serikat di bawah ini :
Lalu, bandingkan survey yang diadakan peneliti yang sama di Jepang :
Tatkala pemerintah memampang hasil kerja mereka di media yang dapat diakses public, dan secara mudah public dapat mempelajarinya, trust dan akuntabilitas pemerintah muncul secara alami. Trust dan Akuntabilitas ini dapat diperoleh pemerintah lewat jenis layanan yang bervariasi dan menguntungkan warganegara.
Legitimasi dan Pemahaman. E-Government menyediakan kesempatan bagi pemerintah guna menjelaskan dan mendemonstrasikan legitimasi mereka. Mereka juga dapat menyediakan pendidikan sipil mendasar secara online, yang pada satu titik, akan meningkatkan pemahaman warganegara akan tanggung jawab pemerintah.
Satu hal yang sangat menarik bagi public adalah penggunaan uang Negara. Di India misalnya, tersedia situs www.indiabudget.nic.id . Situs tersebut menjelaskan asal-usul uang Negara (misalnya dari pajak dan pendapatan lain), lalu ke mana uang-uang tersebut mengalir.
Layanan dan Kepuasan WargaNegara. Peningkatan kepuasan warganegara akan layanan pemerintah tercipta lewat demokrasi partisipatoris. Di level minimal, pemerintah perlu mendesain layanan dan transaksi online dalam hal input politik. What does people wants, kiranya demikian slogannya. Tidak hanya itu, pemerintah juga dapat merangkum tanggapan (feedback) dari warganegara atas kinerja mereka selama ini.
Jangkauan Akses. Pemerintah mengupayakan sebesar-besarnya upaya penyebarluasan aktivitas mereka ke kalangan warganegara. Ini misalnya melalui teknik E-Mail Newsletter. Dalam teknologi ini, pemerintah mengirim informasi kerja mereka ke alamat-alamat email warganegara secara otomatis. Informasi tersebut telah diklasifikasi sehingga mirip “Koran.”
Di Jepang, sebagai contoh, Perdana Menteri Koizumi menerbitkan M-Magazine yang sudah mencapai 2 juta pelanggan. Isi dari M-Magazine adalah perkabaran lewat email yang berisikan aktivitas si perdana menteri berikut anggota-anggota kabinetnya. Demikian pula, presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad memiliki portal sendiri yang berisikan percakapannya dengan warganegara Iran dan penduduk dunia. Portal tersebut juga memampangkan surat-surat dari para pembaca website seputar keluhan dan keingan mereka dari pemerintah Ahmadinejad.
Perwakilan Efektif dan Pembuatan Keputusan. Kini studi-studi seputar E-Government telah dilakukan oleh parlemen, legislatur, dewan kota, dan para pejabat public dipilih berikut staffnya. Ini merupakan indikasi upaya penguatan partisipasi warganegara. Legislatur, sebelum melakukan rapat rancangan undang-undang, dapat saja menerbitkan polling di situsnya seputar langkah yang sebaiknya dilakukan. Pilihan public dapat terlihat lewat respon atas polling-nya tersebut.
-------------------------------------------
Referensi
- Eduardo Contreras Budge, Foundations of E-Government, (Paraguay: Digital Opportunities for Development, tt)
- OECD, E-Government for Better Government, (Paris: OECD E-Government Studies, 2005)
- Shailendra C. Jain Palvia and Sushil S. Sharma, E-Government and E-Governance: Definition/Domain Framework and Status around the World, (India: Computer Society of India)
- Steven N. Clift, Representation and Citizen Engagement in the Information Age, (United Nation: UNPAN/DESA, 2004)
- Zhiyuan Fang, E-Government in Digital Era: Concept, Practice, and Development, (International Journal of the Computer, The Internet, and Management, Vol. 10, No.2, 2002)
pengertian e-government definisi e-government hubungan e-government demokrasi hubungan birokrasi dan demokrasi
Hubungan E-Government dengan Administrasi Publik
Hubungan e-government dan administrasi publik adalah suatu fenomena. E-government dalam kajian administrasi publik, menempati posisi kunci. Utamanya selaku subproses dari demokrasi berupa aliran informasi yang dapat diakses secara luas oleh warga Negara. E-Government memungkinkan warganegara mengetahui apa yang terjadi di dalam “Negara” atau “pemerintahan” yang selama ini seperti berada di balik layar. Sebab itu, dalam hubungannya dengan demokrasi, E-Government merupakan sebuah konsep maju yang sudah diimplementasi di banyak Negara.
Kini pembahasan masih bertemakan E-Government, tetapi dengan lokus kajian yang berpindah. Jika sebelumnya lokus adalah pada mekanisme demokrasi, maka kini lokus berada pada Administrasi Publik. E-Government selama ini telah dimanfaatkan birokrasi Negara dalam melakukan pelayanan kepada public. Kini, factor penting yang hendak dikaji adalah di mana signifikansi peran dari E-Government dalam implementasi birokrasi Negara, atau secara lebih luas, administrasi public. Potret Indonesia
E-Government selaku Fenomena Administrasi Publik 1
E-Government kini sudah merupakan fenomena global. Banyak Negara mewujudkan visi, impian, dan rencana-rencana mereka dalam bidang pemerintahan elektronik ini. Menurut survey yang dilakukan Gartner Group, transisi dari “government” menjadi “e-government” dikarakteristikan oleh 4 tahap.
Tahap pertama adalah kehadiran pemerintah di dunia internet. Setelah tahap kehadiran selesai, pemerintah dimungkinkan berinteraksi dengan warganegaranya lewat internet. Tahap interaksi ini kemudian digantikan tahap transaksi. Di tahap transaksi ini, komunikasi antara pemerintah dengan warganegara berhubungan dengan distribusi layanan public. Akhirnya, akibat distribusi layanan public ini, pemerintah akan mentrasformasikan organisasi dan lembaganya. Tahap pertama hingga ketiga berfokus pada upaya penemuan bentuk pemerintahan dan membangung basis bagi e-government. Sementara tahap keempat terfokus pada pendesainan suatu bentuk baru pemerintahan.
Di dunia internasional, terdapat sejumlah Negara yang menjadi “innovative leader” bagi proyek e-government ini. Negara-negara tersebut adalah Kanada, Singapura, dan Amerika Serikat. Kemudian Australia, Belanda, Jerman, HongKong dan Perancis muncul selaku “visionary challenger” (penantang masa depan). Selandia Baru, Spanyol, Belgia dan Jepang tampil selaku “emerging performers” (debutan baru). Disusul kemudian dengan Negara yang tengah membangun platform e-government (“platform builders”) yaitu Brasil, Italia, dan Afrika Selatan.
Negara-negara “innovative leaders” sukses membangun e-government mereka sejak tahun 2001. Di Negara-negara tersebut cenderung terdapat suatu semangat memperlakukan warganegara dan kalangan bisnis selaku pelanggan (customer) dan mengenalkan teknik manajemen hubungan pelanggan kepada distribusi layanan public.
Secara regional, kawasan Amerika Utara, Eropa, Amerika Selatan, dan Timur Tengah merupakan penerap e-government yang cukup berhasil. Sementara kawasan-kawasan seperti Asia, Karibia, Amerika Tengah, dan Afrika merupakan yang terendah. Ini berdasarkan survey atas kehadiran online pemerintah mereka, evaluasi infrastruktur teknologi informasi mereka, dan penilaian kapasitas pembangunan manusia mereka. Kendati demikian, kini hampir setiap Negara telah coba menerapkan e-government dalam pelayanan public mereka kendati dengan kadar yang berbeda-beda.
Pembentukan E-Government
E-Government tidaklah hadir begitu saja dalam tata kelola administrasi public. Terdapat sejumlah kondisi yang menjadi prasyarat hadirnya e-government ini. Pertama, provisi akses atas hukum dan regulasi. Bank-bank data yang berisi teks-teks resmi (undang-undang, peraturan, surat edaran) dibuat mungkin untuk dapat diakses di internet, baik oleh warganegara maupun kalangan bisnis. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, institusi Library of Congress menyedikan informasi legislative secara online di situs www.thomas.loc.gov.
Kedua, melakukan streamline data basis. Beberapa pemerintahan melakukan koneksi dengan data personal warganegara dan menggunakan informasi tersebut bagi layanan dasarnya. Kini tengah dibangun registrasi-registrasi yang unik guna member peringatan ataupun menajmi kualitas dari informasi yang dihadirkan (misalnya apakah informasi benar atau uptodate?). Registrasi ini juga berisikan data personal dari warganegara. Dengan mengkoneksi mereka, data yang sama akan digunakan bagi sistem informasi yang tersedia.
Ketiga, mengamankan transaksi-transaksi penting. Dalam rangkan meningkatkan keamanan penggunaan teknologi informasi, pemerintah me-launching program-program seperti tanda tangan elektronik, kartu identitas elektronik. Dan infrastruktur kunci yang bersifat public. Misalnya, Singapura sejak 1998 telah memberlakukan ETA (Electronic Transaction Act) yang fungsinya menyediakan pengakuatan legal atas tanda tangan elektronik lewat penggunaan sertifikat digital. Di masa kini, beberapa pemerintahan (misalnya Belanda) jadi pilot project bagi penggunaan karakter biometric sebagai dokumen perjalanan atau kartu identitas dalam rangka keamanan data. Juga, eksperimen penggunaan scan lapisan iris mata serta pengenalan wajah diterapkan di Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa Barat.
Keempat, penciptaan kesadaran ICT dan pembangunan skill ICT. Agar warganegara mampu memanfaatkan e-government, mereka harus tahu keuntungan dari itu. Juga mereka harus mampu menggunakannya. Satu contoh dari inisiatif yang ditujukan demi penciptaan kesadaraan ini adalah pembangunan “taman bermain” digital di Belanda.
Kelima, pendirian organisasi-organisasi pendukung e-government demi pengimplementasian dan pengkoordinasian inisiatif e-government ini. Organisasi tersebut, sebagai missal, harus mengkoordinar beragam aspek dari e-government, merangsang peran ICT dari sudut administrasi public, dan mengadakan perubahan budaya di dalam pemerintahan. Contoh menarik dari ini adalah sebuah organisasi bernama E-Government Coordination Office di HongKong.
Operasi Administrasi Publik dalam E-Government
Di tingkat nasional, e-government diberlakukan di sejumlah area kebijakan public. Di area layanan manusia, e-government terutama terfokus pada pekerjaan. Ini dilakukan lewat pembangunan website di internet yang memungkinkan warganegara mencari pekerjaan, membuat CV, secara otomatis. Baik Amerika Serikat dan Australia bahkan telah mengembangkan layanan pencarian kerja online (www.jobsearch.gov.au bagi Australia dan www.ajb.org bagi Amerika Serikat). Lebih jauh lagi, layanan online Kanada bahkan telah memungkinkan warganegara mendaftar secara online sebagai penganggur dalam rangka mengurus asuransi penganggurannya.
Sektor keuangan mungkin merupakan yang paling pesat perkembangan e-governmentnya. Sebagai contoh, orang-orang di Irlandia memanfaatkan layanan online keuangan ini (www.ros.ie) yang memberi fasilitas pengisian wajib pajak. Situs itu dilengkapi sertifikat digital yang memungkinkan mereka menandatangani berkas wajib pajak mereka.
Masalah pajak ini pun telah disentuh Spanish Tax Agency (www.aeat.es) dan telah dikembangkan sejak 1999. Proyek tersebut mengcover keseluruhan proses pajak (informasi, printing berkas pajak, dan pembayaran, juga sertifikat) untuk segala jenis pajak yang dibayarkan warganegara.
Di bidang pendidikan, EdNA (Education Network Australia di www.edna.edu.au) member layanan informasi pendidikan. Pertama, ia menawarkan direktori yang berisikan seluruh program pelatihan dan pendidikan di Australia, didukung database yang memungkinkan sistem belajar online. Kedua, ia layanan komunikasi yang bertujuan mempromosikan kolaborasi dan kerjasama di seluruh sector pendidikan dan pelatihan Australia. Juga, termasuk bantuan keuangan yang bisa diakses di www.cao.ie.
E-government juga merambah bida kehakiman dan keamanan public. Misalnya, di Australia lewat situs www.fedcourt.gov.au diperkenalkan cara mendaftar pengadilan. Di Belgia telah dikembangkan situs pembayaran tilang di www.just.fgov.be. Sementara di Singapura juga dibangun situs yang mampu melakukan claim secara online di www.smallclaims.goc.sg.
Lokus E-Government
Sedikit demi sedikit, pemerintah di dunia mengadopsi e-government dalam tata kelola administrasi public mereka. Ini akibat beberapa keuntungan yang ditawarkan sistem ini. Pertama, e-government bertujuan lebih pada customer-oriented. Ketimbang pergi ke kantor pajak atau kantor walikota, warganegara dapat mendownload brosur-brosur yang mereka butuhkan secara segera, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, langsung dari internet.
Kedua, dengan e-government administrasi public jadi lebih efisien. Tenaga manusia dan kertas dapat dihemat tatkala administrasi public dikoneksikan dengan internet. Prosedur dan rutinitas jadi terotomatisasi dalam rangka menghemat pengeluaran guna membayar aparat pelayan public yang mahal.
Ketiga, e-government membuat administrasi public jadi modern. Ini merupakan daya tarik utama dari e-government. Administrasi public Negara mana yang tidak mau dikatakan modern? Terlebih lagi, telah terjadi peralihan masyarakat dunia dari masyarakat produksi menjadi masyarakat informasi. Pemerintah harus mengadaptasi perubahan ini, dan jadilah e-government selaku trend yang meluas di seluruh penjuru dunia.
Lokus organisasi. Organisasi public terdiri atas entitas yang beragam. Guna melihat di mana posisi e-government dalam organisasi public, jadi penting bagi kita mengingat konsep Mintzberg tentang peta organisasi. Ia melakukan pembedaan atas 5 elemen organisasi : inti operasi, strategic top, eksekutif, tekno-struktur, dan staff pendukung. E-government menekankan perhatian pada dukungan pelaksanaan layanan. E-government sebab itu concern dengan inti operasi. Juga, pada tekno-struktur organisasi. Tekno-struktur ini harus menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi e-government.
Lokus Kebijakan. Kebijakan adalah konsep kunci dalam ilmu administrasi. Dalam pendekatan sistem atas administrasi public, proses kebijakan secara analitis terdiri atas fase-fase berikut: pengenalan masalah dan agenda-setting, pembangunan kebijakan dan pengambilan keputusan, dan implementasi serta kendali manajerial. Dalam konteks kebijakan ini, e-government concern dengan titik implementasi kebijakan. Isu prinsipilnya adalah mengembangkan layanan yang citizen-focused seraya melibatkan otoritas pemerintahan bergerak online untuk kemudian terlibat dalam transaksi-transaksi digital.
Lokus Politik. Politik langsung berkait dengan masalah administrasi public. Inilah alasan utama mengapa e-government tidak dapat begitu saja disamakan dengan e-business. Warganegara bukan saja stakeholder yang mau beroleh profit, tetapi juga konstituen dari Negara yang terorganisasi secara demokratis. Untuk itu, politik merupakan bagian atau paket yang ada di dalam administrasi public dan e-government.
Dalam Negara-negara demokrasi liberal, politik hadir dalam 4 aktivitas. Pertama representasi, yang membuat legislative sah dalam memproduk undang-undang yang mengikat. Kedua, politisi dipilih untuk kemudian mereka menentukan masalah-masalah sosial yang dapat menjadi dasar pembuatan kebijakan. Pengambilan keputusan dan hak suara di parlemen merupakan aktivitas politik yang ketiga. Menurut pada prinsip check and balance, supervise demokratis merupakan tipe keempat aktivitas politik.
Inisiatif e-government terutama berkait dengan dukungan atas penyelenggaraan supervise demokratis. Sebagai contoh, akses public online atas undang-undang dan peraturan. Akses pada informasi pemerintah ini bertujuan meningkatkan transparansi administrasi public terhadap warganegara dan kelompok kepentingan.
Lokus Warganegara. Di Negara demokrasi liberal, warganegara dan administrasi public terkoneksi dengan sejumlah cara. Definisi republic sendiri adalah warganegara sekaligus memerintah dan diperintah. Warganegara memerintah sekurangnya lewat 2 cara. Pertama, demokrasi perwakilan memungkinkan warganegara selaku pemberi suara memilih wakil rakyatnya. Kedua, warganegara terhubung denga praktek keseharian dari pembuatan kebijakan dan pembuatan keputusan.
Terkadang pemerintah berkonsultasi dengan warganegara guna mendengar apa yang mereka piker seputar proposal kebijakan tertentu, tetapi secara umum warganegara membangun blok masyarakat sipil sendiri. Selaku rakyat yang diperintah, warganegara merupakan sasaran dari administrasi public. Warganegara lambat-laun dimengerti sebagai konsumen dari produk dan layanan yang diberikan pemerintah.
Fokus E-Government
Oleh sebab e-government punya lokus yang sempit dalam konteks administrasi public, maka terminology e-services (atau i-services) lebih layak disandangnya ketimbang e-government. E-government hanya muncul guna meningkatkan layanan pemerintah.
E-government mengambil aktivitas spesifik dari agen pemerintahan selaku starting pointnya (misalnya jaringan pengaman sosial, keterbukaan pemerintahan, mencari kerja) dan kemudian mengubahnya ke dalam e-government dengan menaruh proses-proses tersebut ke dalam computer dan menghubungkannya dengan internet. Apa yang biasanya dilakukan secara manual, kini dilakukan oleh computer. Lewat teknologi, layanan pemerintah jadi lebih efisien, lebih modern, dan lebih reliable.
Ideologi di balik E-Government
McLuhan, teoretisi media, berargumentasi bahwa teknologi-teknologi baru tidak pernah bersifat netral terhadap konteks sosial dan kulturalnya. McLuhan mendemonstrasikan bahwa kita seharusnya tidak hanya melihat pada isi pesan, tetapi juga isi dari mediumnya. Ahli lain berargumentasi ideology tertentu tersembunyi di balik setiap teknologi. Bahkan suatu intrumen teknis yang terlihat netral sesungguhnya punya bias ideology, yang berakibat pada bagaimana cara seseorang melihat dunia.
Apa ideologi di balik e-government? Dalam sudut pandang ideology e-government, pemerintah melulu hanyalah masalah koleksi informasi, proses informasi, dan perluasan informasi. Bagi e-government, informasi merupakan inti dari administrasi public. Tatkala kita yakin pada ideology e-government ini, pemerintah secara esensial menjadi materi informasi.
Brown and Duguid mendefinisikan dominasi ideology informasi selaku “infoprefixation.” Ini mengubah pandangan dari kayanya institusi menjadi sekadar masalah informasi. Ideologi informasi tidak hanya suatu perspektif atau cara pandang. Tatkala ia diterapkan, ia cenderung menjadi “bulldozer sosial” yang akan mengubah praktek-praktek manusia menjadi praktek informasi. Singkatnya, ideology e-government mengubah praktek-praktek manusia menjadi praktek-praktek informasi yang dilakukan computer melalui internet.
Efek ideology e-government ini juga dapat ditelusuri lewat beberapa pendekatan atas administrasi public. Pertama pendekatan rasionalitas politik. Pemerintah demokratis merupakan hasil dari konflik antara para pendukung dan penentang. Pertikaian yang terjadi tatkala suatu kebijakan dirumuskan merupakan esensi dari politik. Pertikaian ini terbangun lewat debat, voting, dan terutama penggunaan kekuasaan (kadang paksaan, koersi). Konflik, kuasa, kekuatan, dan pembuatan keputusan politik selaku terhubung dengan administrasi public demokratis.
Kedua, rasionalitas legal. Tiap aksi pemerintah harus lega, baik dalam bentuk maupun substansinya. Biasanya, pemerintah memuarakan aktivitasnya dalam format legal. Keamanan legal, persamaan legal, dan kewajiban legal, terpaket ke dalam keputusan pemerintah, dan itu merupakan persyaratan struktur dan tindakan pemerintah.
Ketiga, rasionalitas ekonomi menggarisbawahi administrasi public. Efisiensi merupakan kata kunci dari rasionalitas ini. Bahkan tatkala ekonomi berkembang, pemerintah tetap menghadapi kelangkaan ekonomi. Alat-alat pemerintah tidak pernah bisa memenuhi tuntutan masyarakat. Rasionalitas ekonomi juga butuh organisasi administrasi public yang rasional.
Keempat, rasionalitas professional. Pemerintahan yang efektif butuh sebuah teori kebijakan yang valid. Rasionalitas professional butuh pengetahuan keilmuwan sehubungan dampak yang bisa ditimbulkan atas suatu intervensi pemerintah.
Keempat rasionalitas di atas dapat digunakan guna menganalisi inisiatif e-government. Utamanya, e-government berhubungan dengan rasionalitas ekonomi dari administrasi public. Tujuannya menciptakan organisasi yang rasional dari administrasi public. Ia mengupayakan rasionalitas ekonomi dari kebijakan public serta efektivitas dan efisiensi dari agen-agen pemerintah. Sementara itu, rasionalitas politik diabaikan oleh e-government. Tidak ada dinamika tawar-menawar politik dalam e-government.
Antonio Cordella, bahkan menyebut gerakan lain yang ada di balik e-government yaitu New Public Management.2 Ia menyatakan bahwa proyek-proyek e-government secara intrinsic (pada dirinya sendiri) dilekatkan pada kombinasi reformasi politik dan perubahan organisasi guna membangun, mendukung, dan mendorong transformasi organisasi di sector public.
Seperti telah disampaikan pada kuliah yang lalu, NPM merupakan gerakan pencangkokkan manajemen perusahaan privat ke dalam birokrasi public (administarasi Negara). Rasionalitas ekonomi dalam e-government berhubungan dengan semangat NPM yang kerap mengatasnamakan efektivitas dan efisiensi pelayanan pemerintah.
Dampak E-Government
Akibat bias ideologinya, maka jika e-government diterapkan akan memunculkan sejumlah transformasi. Pertama, e-government mensolidkan hubungan politik dan hubungan kekuasaan dengan menstabilitasi definisi data dan arsitektur informasi dari administrasi public.
Kedua, e-government merasionalisasikan kebijakan public dari titi panda rasionalitas professional. Hampir semua riset atas dampak teknologi informasi dan komunikasi membawa pada suatu konklusi bahwa baik proses kebijakan maupun kebijakan itu sendiri jadi lebih rasional. Efektivitas dan efisiensi jadi nilai primer guna menegaskan proposal kebijakan dan proses kebijakan. Kemungkinan munculnya konflik politik tersalur dan kadang direduksi akibat proses rasional ini.
Ketiga, e-government mentransformasikan proses-proses legal menjadi sekadar proses teknis-administratif. Keempat, e-government mentransformasikan “citizenship” menjadi “consumership”.
-------------------------------------------
Referensi
- Stavros Zouridis and Marcel Thaens, E-Government: Towards a Public Administration Approach, (Asian Journal of Public Administration Vol. 25, No.2, December 2003) p. 159-183.
- Antonio Cordella, E-Government: Towards the E-Bureaucratic Form?, (Journal of Information Technology, 22, 2007)
pengertian e-government definisi e-government demokrasi publik hubungan e-government birokrasi manajemen publik lokus e-government pemerintah
Hubungan Birokrasi dengan Demokrasi
Hubungan birokrasi dan demokrasi sesungguhnya rapat. Istilah birokrasi dan demokrasi kerap dipertentangkan satu sama lain. Pertentangan ini berlaku baik pada tataran akademis maupun awam. Di satu sisi, birokrasi publik menempati posisi penting dalam administrasi publik yang efektif. Namun, birokrasi dianggap bersifat legalistik dan mengabaikan tuntutan serta keinginan warga negara secara individual. Birokrasi cenderung diasosiasikan dengan sesuatu yang bersifat hirarkis bahkan bentuk pemerintahan yang otoritarian. Ini tetap terjadi meski birokrasi tercipta justru untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat, dan seringkali secara demokratis.
Di sisi lain, lembaga pemerintahan yang demokratis diasumsikan amat responsif pada keinginan publik. Pemerintahan demokratis berupaya memetakan pilihan publik ke dalam kebijakan positif bagi warga negaranya. Richard Rose dan lainnya telah mengkaji hubungan antara voting dan pilihan kebijakan dalam negara demokrasi perwakilan yang ternyata tidak begitu jelas seperti yang digembar-gemborkan. Bahkan, publik dapat saja memilih tujuan-tujuan yang inkonsisten. Atau, publik punya harapan yang kurang realistik yang memaksa pemimpin (baik di kalangan legislatif ataupun birokrasi) membuat keputusan hanya untuk diri mereka seorang. Potret Indonesia
Di sisi lain, lembaga pemerintahan yang demokratis diasumsikan amat responsif pada keinginan publik. Pemerintahan demokratis berupaya memetakan pilihan publik ke dalam kebijakan positif bagi warga negaranya. Richard Rose dan lainnya telah mengkaji hubungan antara voting dan pilihan kebijakan dalam negara demokrasi perwakilan yang ternyata tidak begitu jelas seperti yang digembar-gemborkan. Bahkan, publik dapat saja memilih tujuan-tujuan yang inkonsisten. Atau, publik punya harapan yang kurang realistik yang memaksa pemimpin (baik di kalangan legislatif ataupun birokrasi) membuat keputusan hanya untuk diri mereka seorang. Potret Indonesia
Hubungan antara birokrasi dan demokrasi sekaligus paradoksal juga saling melengkapi. Paradoksal akibat kenyataan bahwa negara demokrasi yang efektif justru memerlukan birokrasi yang berfungsi baik. Stereotip kaku yang ditempelkan secara negatif pada birokrasi justru diperlukan agar negara demokratis berfungsi baik.
Konsep birokrasi dan demokrasi mungkin terkesan bertentangan. Namun, sesunggunya keduanya diperlukan demi terciptanya pemerintahan yang efektif dan responsif. Keduanya menyediakan manfaat bagi masyarakat. Responsifnya pemerintahan demokratis harus diimbangi dengan dengan kepastian dan kenetralan yang ada di lembaga birokrasi. Begitu juga, proses-proses demokratis diperlukan demi mengabsahkan proses pemerintahan dan menghasilkan perundang-undangan yang benar-benar diinginkan warganegara. Sifat komplementer birokrasi dan demokrasi ini esensial bagi good governance.
Senja Demokrasi Perwakilan
Pengertian demokrasi yang umum adalah, pemilih akan mengendalikan kebijakan lewat pilihan mereka atas kandidat legislatif/eksekutif. Mereka yang terpilih akan membuat kebijakan sesuai harapan para pemilihnya. Birokrasi kemudian akan diarahkan oleh legislatif/eksekutif tersebut dalam pengimplementasian kebijakan yang sudah dibuat tadi. Jadi, elemen penting dari model demokrasi konvensional adalah, politisi yang terpilih bertanggung jawab dalam memilih suatu kebijakan dan administrator ( di birokrasi) bertanggung jawab dalam mengimplementasikannya.
Dalam pandangan di atas, aktor sentral drama demokrasi ini adalah warganegara yang diasumsikan tertarik dalam masalah politik. Atau paling tidak, rajin memberikan suara dalam pemilu. “Pahlawan” dari drama ini adalah warganegara yang tidak saja memberikan suara tetapi juga rajin mengikuti berita dan informasi lain seputar politik guna menelusuri tindakan politisi yang mereka pilih itu.
Masalah yang kini muncul adalah, semakin sedikit warganegara yang secara aktif terlibat dalam kehidupan politik. Misalnya, tingkat parsipasi masyarakat dalam memberi suara di TPS-TPS cenderung mengalami penurunan. Ini dapat terjadi akibat aneka sebab seperti : tidak percaya, bingung, bosan, atau memang disengaja (misalnya golput).
Penurunan partisipasi warganegara dalam kehidupan politik paling jelas terlihat dalam partisipasi pemberian suara. Secara kasar, dapat saja ditarik kesimpulan juga terjadi penurunan dalam bentuk-bentuk partisipasi lain semisal ikut partai, berdiskusi politik, demonstrasi, dan sejenisnya. Dalam banyak jajak pendapat, warganegara menunjukkan ketidaktertarikan ikut partai politik. Juga, kerap ditunjukkan anggapan bahwa partai politik tidak lagi dianggap relevan bagi suatu pemerintahan yang efektif.
Lebih jauh lagi, banyak partai politik yang kehilangan massa solid mereka. Partai-partai tersebut berubah menjadi partai “catch-all” atau berprogram sempit. Misalnya, di Belanda ada sebuah partai bernama Pym Fonteyn. Pym Fonteyn adalah nama seorang tokoh Belanda. Atau, di Denmark ada partai bernama Naser Khader of Ny Alliance yang sama bentuknya. Atau, di Indonesia mulai muncul Partai Pemuda Indonesia (khusus pemuda), Partai Gerindra (penokohan Prabowo), Partai Demokrat (penokohan SBY), ataupun Partai Hanura (penokohan Wiranto).
Partai politik mulai kehilangan daya tarik di mata warganegara. Selain “kehilangan ide” sehingga membangkitkan tokoh atau status sosial tertentu, kini banyak partai yang berubah menjadi apa yang dinyatakan Peter Mair sebagai “partai kartel.” Partai-partai ini cenderung menyelamatkan diri mereka dengan lebih fokus pada struktur pemerintahan ketimbang mendekatkan diri dengan pemilih mereka. Tidak heran, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik merosot tajam.
Turunnya animo masyarakat untuk jadi anggota partai juga meningkatnya sikap “mengambang” partai adalah penting guna memahami sisi input politik kontemporer. Penurunan ini berakibat pada kurangnya legitimasi dan akuntabilitas publik suatu negara demokratis. Partai dan para pimpinannya yang bertipikal “datang dan pergi” akan mempengaruhi birokrasi secara negatif. Apa yang menarik bagi pimpinan partai politik adalah area pembuatan kebijakan, bukan pada aspek implementasi dari kebijakan tersebut.
Paradoks dari demokrasi kini adalah, tatkala partisipasi politik warganegara diharapkan tinggi demi mengabsahkan suatu pemerintahan, ternyata justru partisipasi tersebut menurun. Namun, kesuraman ini bukannya tanpa harapan. Bentuk-bentuk partisipasi (politik) lain kini tengah terbangun dan mengalami perluasan sehingga kehidupan demokrasi dapat menemui pemulihannya. Bentuk itu menekankan pada lewat cara apa warganegara dapat berpartisipasi dalam suatu program pemerintah yang langsung mempengaruhi diri mereka.
Rumitnya Pelayanan Publik
Dalam model pemerintahan dan pemberian pelayanan tradisional, sangat kurang hubungan antara organisasi publik dengan pelayanan. Walsh and Stewart menunjukkan salah satu karakteristik manajemen publik tradisional adalah negara satu-satunya yang sanggup dan boleh memberikan pelayanan publik. Kecuali di Swedia, tindak pemberian pelayanan hanya mengkaitkan departemen/kementrian dengan otoritas politik daerah.
Kendati model pemberian pelayanan tradisional terkesan mampu menyelesaikan tugasnya, ia mengandung proses hirarkis dan tampak menjauhkan publik dari keterlibatan efektif mereka. Publik awalnya terlibat di tingkat pemilihan (meski tak langsung) pejabat lewat pemilu, ironisnya pemilih tersebut kini tidak dilibatkan dari mendesain kegiatan pelayanan publik. Model tradisional ini mengasumsikan publik tidak memiliki kepentingan seputar kebijakan yang diarahkan pada mereka. Publik juga dipandang tak punya kualitas teknis dan legalitas atas layanan pemerintah.
Model pelayanan publik semacam itu kini telah berubah secara drastis. Bentuk baru kegiatan pelayanan publik dikenal sebagai New Public Management (NPM). Dalam NPM, organisasi pemerintah berperan selaku pengarah bukan pemain. Maknanya adalah, pemerintah dipandang lebih baik berperan sebagai pembuat kebijakan saja ketimbang juga menjalankan kebijakan tersebut. Ini merupakan akibat dari tidak efektifnya birokrasi yang diselenggarakan pemerintah. Kini telah mulai banyak negara yang mempraktekkan NPM, di mana kerja-kerja birokrasi pemerintah diserahkan kepada organisasi masyarakat sipil, baik yang bersifat otonom maupun semi-otonom.
Perpindahan dari pemerintah selaku satu-satunya penyelenggara pelayanan publik ke tangan organisasi di level warganegara, telah melemahkan mekanisme akutabilitas tradisional. Ini memaksa diciptakannya format-format alternatif guna mempertahankan agar birokrasi-birokrasi pemerintah tersebut tetap akuntabel. Secara umum, terjadi peralihan dari bentuk-bentuk akuntabilitas hirarkis menjadi berpola kompetitif dan mutualistik. Bentuk akuntabilitas yang tidak lagi konvensional ini membutuhkan keterlibatan klien dari program. Warganegara sebab itu perlu terlibat dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi output dari suatu program publik, termasuk memobilisasi guna mengkomplain performa yang kurang beres.
Gerakan untuk membentuk format pelayanan publik baru dan kompleksitas dari pilihan itu cenderung berakibat kebingungan di antara masyarakat. Bagi banyak jenis layanan publik adalah sulit menentukan siapa yang sesunggugnya bertanggung jawab. Ujungnya, warganegara tidak lagi punya konsepsi jernih seputar apa yang dilakukan pemerintah sesungguhnya.
Penggunaan agen atau organisasi dalam pelaksanaan pelayanan publik juga menawarkan jalan bagi terciptanya akuntabilitas. Contoh, meski suatu PT ditunjuk KPU untuk mengadakan surat suara, bukan berarti publik atau pemerintah tidak bisa mengontrol kegiatannya. Pemerintah dapat menggunakan otoritas legal mereka untuk melakukan kendali mutu dan sejenisnya, terutama budget. Publik pun dapat mengamati kegiatan PT tersebut, meneliti pembukuannya, dan kualitas surat suara yang dihasilkan. Ini lebih mudah memancing keterlibatan warganegara ketimbang surat suara dicetak oleh Peruri atau KPU sendiri.
Tentu saja, pelibatan masyarakat dalam model layanan baru pemerintahan tidak individual. Masyarakat terlibat melalui organisasi-organisasi yang mereka bentuk (misalnya LSM, kelompok mahasiswa atau perguruan tinggi).
Aspek penting lain dari model baru layanan publik ini adalah terbentuknya pola-pola kemitraan baru antara pementah dengan organisasi tingkat warganegara. Kemitraan tersebut dapat dilembagakan sehingga mirip dengan “birokrasi pemerintah” itu sendiri.
Menciptakan Politik yang Demokratis
Kendati peran birokrasi publik penting dalam implementasi kebijakan, posisi mereka kerap sekadar “nomor dua” dalam pemerintahan yang demokratis. Birokrasi publik berfungsi selaku mediator antara pemerintah dengan warganegara. Sebab itu, masyarakat lebih sering melakukan kontak dengan birokrat ketimbang dengan pemerintah yang mereka pilih.
Kontak yang terjadi antara warganegara dengan birokrat penting guna menentukan sebaik apa pelayanan pemerintah telah dilakukan. Juga, kontak ini memainkan situasi penting dalam memperkirakan bagaimana publik memandang pemerintah dan legitimasi mereka di sektor publik.
Banyak orang jarang (atau bahkan tiada pernah) bertemu wakil yang mereka pilih di pemilu. Orang yang kerap mereka temui adalah birokrat, entah itu di kelurahan, kecamatan atau kepolisian. Sebab itu, bagaimana “wajah” layanan birokrasi sangat penting dalam menjaga kewibawaan pemerintah secara lebih jauh. Legitimasi “downward” atas pemerintah ditentukan oleh kegiatan layanan ini.
Di sisi lain, birokrasi yang langsung bersentuhan dengan warganegara tersebut dapat bertindak selaku pengumpul informasi. Birokrat tingkat bawah sering melakukan kontak dengan klien mereka (warganegara). Birokrat ini dapat saja memberi masukan berharga tatkala pemerintah membuat suatu kebijakan. Secara lebih jauh, birokrat tersebut dapat berlaku sebagai “wakil rakyat”.
Output Demokrasi
Kajian di atas sesungguhnya hendak mengalihkan perhatian pelaksana negara dari fungsi input (pembuatan kebijakan) kepada fungsi output (pelaksanaan kebijakan). Ini merupakan semangat dari New Public Management yang concern dengan manajemen output suatu kebijakan.
Secara khusus, NPM hendak mengukur apa yang sudah dilakukan oleh sektor publik pemerintah. Pengukuran salah satunya dilakukan atas kepuasan warganegara atas layanan yang diberikan pemerintah. Juga pelayanan yang melibatkan partisipasi publik meski dalam skala pasif saja.
Asumsi format demokrasi konvensional adalah input diyakini mampu mengontrol output sektor publik. Juga, input diyakini mampu menghasilkan program-program yang memang dibutuhkan masyarakat. Cara pandang NPM tampak relatif baru, tetapi sesungguhnya telah berlaku sekurang-kurang selama beberapa dekade. Pola-pola korporatisme negara, khususnya pluralisme korporatis di negara-negara Skandinavia (Swedia, Finlandia, Norwegia) juga memberi kesempatan bagi partisipasi politik di sisi output kebijakan (sektor publik) dan mampu melengkapi jenis partisipasi politik konvensional semacam voting dan pelibatan diri dalam partai politik.
Hasil yang diharapkan dari skema baru hubungan demokrasi dan birokrasi adalah, kontrol terhadap pejabat publik lebih terkonsentrasi di tingkat pelaksana. Bukan lagi di tingkat pemilihan calon pejabat tatkala pemilu. Namun, ini tentu tanpa mengabaikan penjagaan kualitas penyelenggaraan pemilu, termasuk caleg/capres.
Kesimpulan
- Apa yang hendak disampaikan mengenai kajian birokrasi dan demokrasi di atas adalah :
- Pertama. Birokrasi dan Demokrasi merupakan dua konsep yang tampak paradoks (saling bertentangan). Birokrasi menekankan efektivitas dan netralitas, sementara Demokrasi menekankan inklusivitas dan tawar-menawar kebijakan. Birokrasi menekankan pada fungsi output sistem politik, sementara Demokrasi menekankan pada fungsi input sistem politik.
- Kedua. Menurunnya level partisipasi politik, jika dibiarkan, membuat pemerintah kehilangan legitimasinya di kalangan warganegara. Sebab itu perlu dicari bentuk baru partisipasi politik warganegara di dalam sebuah demokrasi.
- Ketiga. Tatkala Pemilu selesai dan wakil rakyat atau eksekutif terpilih, maka menjadi tugas dari kalangan Birokrasi untuk mengimplementasikan program-program yang dibuat oleh para penyusun undang-undang. Performa implementasi program tersebut oleh aparat Birokrasi amat menentukan bagaimana nantinya warganegara memandang pemerintah yang orang-orangnya mereka pilih saat Pemilu.
- Keempat. Hingga saat ini pola pemerintahan demokrasi pemerintahan konvensional masih menggejala. Ini tampak tatkala mengimplementasikan suatu program/kebijakan, kementrian menyusun perangkat pelaksana menurut undang-undang dan langsung didelegasikan pelaksanaannya kepada pemerintah daerah.
- Kelima. Pola pendelegasian dari kementerian kepada pemerintah daerah kurang membuka ruang bagi pelibatan warganegara akan program-program pemerintah. Sebab itu kemudian muncul perspektif baru hubungan Birokrasi dan Demokrasi bernama New Public Management.
- Keenam. New Publik Management adalah pendekatan baru yang bertujuan memangkas kekakuan birokrasi negara dengan memperbesar kesempatan terlibatnya warganegara dalam kegiatan pelayanan publik.
-------------------------------------------
Referensi
- B. Guy Peters, Bureaucracy and Democracy, SOG Conference November 2008, University of Pittsburgh.
- Forrest Vern Morgenson III, Reconciling Democracy and Bureaucracy: Towards a Deliberative-Democratic Model of Bureaucratic Accountability, Doctor of Philosophy Dissertation, University of Pittsburgh, 2005.
tags
pengertian birokrasi demokrasi hubungan birokrasi dan demokrasi kelemahan demokrasi peran birokrasi dalam demokrasi masyarakat jenuh bosan politik
pengertian birokrasi demokrasi hubungan birokrasi dan demokrasi kelemahan demokrasi peran birokrasi dalam demokrasi masyarakat jenuh bosan politik